Jumat, 14 Februari 2020

Peragaman Seni Kuda Kepang (Jaranan) Turonggo Seto Boyolali

Perubahan yang terjadi karena/untuk pengembangan seni tradisi bukan berarti harus meninggalkan keutuhan bentuk lamanya, karena dalam pengembangannya dapat dilakukan dengan berorientasi melipatgandakan yang hasilnya justru semakin memperbanyak varian dan jumlahnya. Begitulah sedikit cerita mengenai pengembangan seni kuda kepang yang terjadi pada kelompok Turonggo Seto Mardi Utomo di Boyolali Jawa Tengah.
Penjelasan lebih jauh dapat diakses pada: http://journal.isi.ac.id/index.php/DTR/article/view/3295

Rabu, 26 September 2018

TEORI SEMIOTIKA PEIRCE

TEORI SEMIOTIKA PEIRCE
Oleh
Kiswanto

Peirce (1940: 99-100) menjelaskan jika tanda dapat berfungsi sebagai tanda karena berhubungan dengan tiga unsur sebagai ground-nya, yaitu sebuah unit hubungan triadik antara representamen, obyek, dan interpretant. Representamen merupakan unsur pertama dari tanda, yaitu wujud tanda yang dapat ditangkap secara inderawi. Tanda disebut sebagai representemen karena wujudnya memiliki sifat representatif tentang suatu hal yang disebut sebagai obyek, yakni unsur kedua yang diacu atau ditunjuk tanda. Sementara itu, tanda – representamen - dapat merepresentasikan obyek karena dimengerti oleh interpretant. Interpretant merupakan unsur ketiga dari tanda, yaitu orang atau subyek yang menangkap atau menginterpretasikan wujud tanda dan obyek yang direpresentasikannya di dalam kesadaran atau pikiran – idea. Hubungan triadik antara ketiga unsur tersebut dapat digambarkan melalui model segitiga berikut ini.

 Model segitiga hubungan triadik dari pemikiran Peirce
(Sumber: Chandler, 2007: 30 & 32)

Peirce kemudian mengklasifikasikan tanda menjadi tiga trikotomi. Pertama berdasarkan sifat ground-nya yang terdiri atas qualisigns, sinsigns, dan legisigns (1940: 101). Aart van Zoest – yang mengingterpretasikan pemikiran Peirce, menjelaskan bahwa qualisign merupakan “...tanda berdasarkan suatu sifat. Contohnya adalah sifat ‘merah’... Merah merupakan suatu qualisign,... Agar benar-benar berfungsi sebagai tanda, qualisign itu harus memperoleh bentuk....” (1993: 19). Sifat yang ditunjukkan dari warna merah akan sangat bergantung pada kualitas wujud dan pemakaian dalam konteksnya. Hal ini dapat dicontohkan dalam beberapa hal, misalnya warna merah dalam bendera dapat berarti keberanian – seperti bendera negara – bahkan kematian – dalam konteks orang meninggal dunia, ataupun dalam lampu lintas diartikan sebagai petunjuk untuk berhenti karena artinya bahaya.
Sinsign menurut Aart van Zoest merupakan “...tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat merupakan sinsign. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan, atau kegembiraan...” (1993: 19) Penafsiran terhadap tanda-tanda individual akan sangat bergantung pada tingkat pengalaman interpretan dalam mengenali tanda. Penafsiran atas tanda itu juga tergantung pada konteks situasi dan kondisi yang terjadi, misalnya ketika interpretan dalam kondisi yang serius terkadang akan menangkap ungkapan tertawa dari seseorang sebagai tanda bercanda, tidak serius, bahkan ejekan – padahal belum tentu.
Legisign menurut Aart van Zoest merupakan “...tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode” (1993: 20). Ini menunjukkan bahwa suatu tanda berdasarkan sifat ground-nya dapat berfungsi secara ganda. Lampu lalu lintas merupakan qualisign karena bentuk dan tiga warna lampu – merah, kuning, dan hijau - yang  diatur penyalaanya memiliki sifat dan fungsinya masing-masing sebagai penunjuk jalan, namun lampu lalu lintas juga menjadi legisign karena merupakan peraturan yang harus ditaati secara umum. Warna merah dan putih dalam bendera Indonesia mengandung sifat berani dan suci sebagai qualisign, namun bendera ini juga menjadi legisign karena merupakan konvensi lambang negara yang harus dipahami, dihormati, dan disakralkan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Klasifikasi kedua dari pembagian trikotomi tanda oleh Peirce adalah berdasarkan sifat hubungan tanda dengan obyeknya, yakni terdiri atas ikon, simbol, dan indeks (Peirce, 1940: 102-103). Ikon merupakan tanda yang memiliki karakter kemiripan atau keserupaan dengan obyek yang diacu, diwakilkan, atau direpresentasikannya (Peirce, 1940: 102 & 104; Aart van Zoest, 1993: 26), misalnya maskot burung merepresentasikan burung, topeng harimau merepresentasikan wajah harimau, atau gerakan anak kecil seperti kancil merepresentasikan gerakan kancil yang sungguhan. Aart van Zoest (1993: 26) menyebut ikon sebabagai tanda yang sifatnya menggambarkan.
Simbol merupakan tanda yang memiliki karakter sebagai perlambangan atau abstraksi atas suatu gagasan atau pengertian tertentu sebagai obyeknya dan tidak mirip, namun hubungan antara bentuk simbol dengan obyek yang direpresentasikannya telah menjadi konvensi atau aturan yang berlaku umum (Peirce, 1940: 102-103). Aart van Zoest menyebut simbol sebagai tanda yang terbentuk karena ada perjanjian atau kesepakatan (1993: 27). Warna merah dalam bendera Indonesia merupakan simbol, karena sifat berani yang direpresentasikan tidak memiliki kemiripan dengan warna merah namun hubungan antara simbol dengan obyeknya telah menjadi konvensi yang dipahami secara umum. Mengangguk merupakan simbol karena tidak mirip dengan pengertian ‘iya’ atau ‘bersedia’ yang ditunjukannya, namun hubungan antara keduanya telah menjadi konvensi yang disepakati bersama dalam masyarakat. Jadi, sifat simbol berdasarkan ground-nya adalah legisign.  
Terakhir adalah indeks, yaitu tanda yang muncul karena ada pengaruh hubungan kausalitas dengan hal-hal lain sebagai obyeknya (Peirce, 1940: 102), misalnya ada asap berarti ada api, mendung berarti akan turun hujan, gemuk berarti kebanyakan makan, dan lain-lain. Aart van Zoest (1993: 27) menyebut indeks sebagai tanda penunjuk yang bersandar pada kedekatan eksistensial dengan obyeknya, yakni kedekatan yang bersifat berdampingan ataupun bersebelahan dengan obyeknya.
Klasifikasi ketiga dari pembagian trikotomi tanda oleh Peirce  adalah berdasarkan sifat hubungan antara tanda dan interpretan. Pertama, hubungan tanda dengan obyeknya bisa dinterpretasi oleh interpretan sebagai kemungkinan. Peirce menyebutnya dengan istilah Rheme. Kedua, hubungan tanda dengan obyeknya bisa diinterpretasi sebagai suatu kebenaran, keberadaan yang aktual, atau fakta oleh interpretannya. Peirce menyebutnya dengan istilah Dicent Sign. Ketiga, hubungan tanda dengan obyeknya bisa diinterpretasi sebagai sebuah dasar-dasar peraturan atau hukum oleh interpretantnya. Peirce menyebutnya dengan istilah Argument (Peirce, 1940: 103-104).


DAFTAR PUSTAKA

Aart van Zoest. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Chandler, Daniel. 2007. Semiotics: the basics. Newyork: Routledge Taylor & Francis Group.

Peirce, Charles Sanders. 1940. “Logic as Semiotic : the Theory of Signs” dalam Philosophical Writings of Peirce. New York: Dover Publications, inc., hal. 98-119.

Senin, 17 Desember 2012

“Gelar 300 Jaranan”, Minim Antusias


“Gelar 300 Jaranan”, Minim Antusias
Oleh
Kiswanto


Sebuah perhelatan akbar “Gelar 300 Jaran Kepang” disuguhkan gratis selama tiga hari kepada masyarakat. Pagelaran ini menghadirkan berbagai macam seni jaranan dari berbagai daerah di Jawa Tengah, sekaligus menjadi bagian dari serangkaian event “Seni Pertunjukan Tradisional Indonesia” di Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta dari Sabtu kemarin. 
Minggu (25/11/2012) adalah hari pertama diadakannya gelar jaranan ini. Sejak upacara pembukaan pukul 09.00 WIB, rombongan-rombongan seni yang juga akrab disebut Kuda Lumping terlihat mulai berdatangan memadati area Pendhopo Ageng TBS menjadi ‘penuh warna’. Sebelumnya, beberapa kelompok saling mengantri untuk GR, check panggung, maupun check sound. Sampai pementasan dimulai, menginjak siang sampai sore hari, dengan semangatnya para penampil sangat antusias memamerkan karyanya.
Fasilitas yang diberikan pihak penyelenggara pun juga cukup lengkap. Selama berada di lokasi, per kelompok disediakan dua kali makan & minum, Wisma Seni sebagai tempat penginapan dan peristirahatan, tempat rias yang layak, serta anggaran dana yang telah disepakati. Selain mendapat fasilitas yang demikian, tentunya suatu kebanggaan tersendiri bagi kelompok kesenian rakyat yang datang berjauhan hingga dapat berpartisipasi ke TBS, suatu tempat yang cukup terkenal sebagai tempat pertunjukan seni.
Tidak pandang bulu, dari yang berprestasi sampai yang tidak berprestasi sama sekalipun diikutkan dalam ajang ini. Hal ini menunjukkan begitu perhatiannya penyelenggara mengapresiasi akan eksistensi kesenian Jaranan di Jawa Tengah. Pagelaran ini juga mengingatkan pernyataan Bibit Waluyo yang menjustifikasi bahwa kesenian Jaran Kepang itu kesenian daerah yang ‘jelek’, wujud apreasiasi pihak TBS ini nampaknya juga sebagai wujud respon akan kekayaan dan keberagaman seni Jaranan di Jawa Tengah terhadap Gubernur Jateng tersebut. Hal ini juga dapat diamati dari ucapan-ucapan kedua MC yang sering mengemukakan; “mosok seni Jaranan diarani jelek, jelek’e nendi?”.
  Para penyaji saling berunjuk kebolehannya masing-masing. Adanya interaksi yang terjalin dalam pertunjukan ini tentunya sangat bermanfaat bagi para penampil, setelah saling mengamati aneka ragam pertunjukan Jaranan tentunya dapat mengevaluasi kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dampaknya, akan menjadi inspirasi dan motivasi para seniman Jaranan agar tetap mempertahankan eksistensinya sekaligus mengembangkannya.
 Kursi-kursi yang disiapkan panitia penuh ditempati penonton, hingga sebagian sampai menyaksikan dengan berdiri dan duduk di atas lantai area pendhopo. Sebagian besar penonton ini tak lain adalah para penampil yang menunggu giliran pentas, beristirahat, ataupun sekedar menyaksikan. Antusiasme masyarakat setempat terlebih Solo pada umumnya sangat kurang, mengingat event ini mendatangkan kesenian dari berbagai daerah yang sekaligus juga bertaraf Nasional.
Pendhopo memang agak penuh, namun area luar seputaran pendhopo begitu sepi pengunjung. Nampaknya “Gelar 300 Jaranan” ini kurang terpublikasi jauh-jauh hari dengan baik. Event-event bertaraf lokal saja bisa dipadati pengunjung, tapi mengapa perhelatan akbar ini tidak?, cukup disayangkan tentunya. Selain lemahnya publikasi, kurangnya antusias masyarakat Solo juga menunjukkan bahwa panitia gagal mem-branding event yang diadakannya, bahkan mungkin sama sekali tidak mem-branding-nya.
 Budaya jam karet pun juga terjadi dalam pagelaran ini, jadwal yang direncanakan menunjukkan jam 08.00 tepat akan dimulai, jam 09.00 lebih baru dimulai. Padahal, sebelum jam 08.00 sudah banyak kelompok seni yang tiba sekaligus telah siap pentas. Bisa saja molor-nya waktu ini terjadi karena sebab-sebab yang tidak dapat dihindari, ataupun kebiasaan buruk yang telah membudaya, tapi yang jelas hal ini menunjukkan kurangnya profesionalitas para panitia.
Para penampil akan pentas sesuai dengan hari dan tanggal yang telah ditentukan panitia dalam undangan. Sebelumnya undangan resmi terhadap kelompok Jaranan telah tersebar, koordinasi pra-event antara panitia dengan kelompok Jaranan juga terjalin. Terlihat di Boyolali, Jatmiko stage manager dari event ini sering terjun ke lapangan langsung ke beberapa kelompok kesenian.
Atas kesengajaan atau tidak, satu hari sebelum event diadakan hingga pagi hari event dibuka, dead-line waktu pementasan (run down) per-penampil belum diinformasikan dengan jelas, para penampil ‘kebingungan’ kapan waktu pentasnya? serta mendapat giliran yang ke berapa?. Menurut informasi yang didapat dari salah seorang ketua kesenian Jaranan “Turonggo Seto” dari Boyolali (Suharmin) minggu pagi, menuturkan bahwa jadwal pentas akan diberitahukan panitia setelah acara pembukaan, sekaligus berdasarkan pertimbangan kesenian yang telah hadir dan siap. Ternyata benar, jadwal bergilir masing-masing Jaranan baru diberitahukan setelah “Gelar 300 Jaranan” dibuka.  Hal ini tentunya kurang efisien bagi para penampil yang datang, akibatnya akan terlalu lama menunggu serta memperpanjang waktu berada di lokasi event.

‘MODERNISASI’ TARI RAKYAT DI CEPOGO


‘MODERNISASI’ TARI RAKYAT DI CEPOGO
Oleh
Kiswanto


Seni rakyat, penyebutan ini pada dasarnya memang ditinjau dari strativikasi kehidupan sosial masyarakat, antara elite dan rakyat. Tidak bermaksud membedakan mana yang baik dan mana yang jelek, tetapi sebagai klasifikasi seni yang secara garis besar memang memiliki perbedaan konsep.  “Seni rakyat  merupakan kesenian yang lahir,  hidup, dan menjadi bagian dari kehidupan sosial-budaya masyarakat pedesaan – tani, nelayan, perburuan. Fungsinya sebagai sarana pelestarian kehidupan bermasyarakat - solidaritas sosial, ritual kepercayaan, dan sarana hiburan. Bentuknya sederhana;  garap tidak rumit; peralatan dan properti sederhana atau seadanya.  Merupakan unity dengan unsur-unsur:  cerita,  dialog,  musik,  tari,  banyol, sedih,  gembira” (Rustopo, dalam MK SPI).
Kreativitas-kreativitas untuk mengembangkan dan menjaga eksistensinya-pun bermunculan dalam seni ini, seperti yang terjadi di Kecamatan Cepogo, Boyolali. Dalam pementasan tarian rakyat kelompok ‘Kridho Seto’ beberapa hari yang lalu (24/12/11), tepatnya di Dk. Blambangan, Ds. Gedangan, Kec. Cepogo, Kab. Boyolali, Selain dipentaskan secara mandiri musik Dangdut menjadi bagian dari struktur iringan tari rakyat, selain iringan gendhing-gendhing Jawa. Bukan hanya pada kelompok ini, kehadiran genre musik Dangdut ini pun telah menjadi ciri khas di daerah tersebut, ini terjadi pada hampir semua tari rakyat di daerah tersebut; seperti Yakso Jati di Dk. Sidosari, Pakem di Dk. Kadisono dan lainnya. Bentuk-bentuk tariannya-pun berbeda-beda; ada yang sejenis Jaranan, Buto, Warokan, dan lain-lain.

Modernisasi
Ke-khas-an tari rakyat di Cepogo yang hampir semuanya telah terdapat element musik Dangdut di dalamnya, hal ini tentunya tidak terjadi serta merta dalam waktu yang cepat begitu saja. Terlebih dahulu pasti ada sebab-sebab yang melatar belakanginya hingga akhirnya mampu dianut dan tersebar luas di daerah tersebut. Persoalan ini tak terlepas dari arus perkembangan jaman dan globalisasi - Media massa, industri, serta teknologi - yang menjadi pengaruh utama terhadap perubahan pola-pola kehidupan sosial masyarakat. Perubahan ini terjadi sangat kompleks berpengaruh di hampir segala bidang, tak terkecuali kesenian. Dalam situasi yang demikian, masyarakat selalu disuguhi dan dimudahkan beraneka macam menu-menu kebutuhan baru yang lebih efektif dan efisien, sehingga ‘modernisasi’ menjadi arus kebutuhan yang tidak dapat dihindari.  “modernisasi merupakan proses yang bertahap, yaitu mulai dari tahap tradisional menuju masyarakat modern. modernisasi merupakan proses progresif. Dalam jangka panjang modernisasi meningkatkan kesejahteraan manusia, baik kultural maupun material-material”(Samuel P.H).
Dalam kasus kesenian rakyat, kebanyakan bentuk sajian tari rakyat yang masih monotone, sederhana, serta melulu itu aja, ini mengindikasi bahwa masuknya musik Dangdut dalam kesenian tersebut karena mereka menginginkan sesuatu yang baru juga dalam keseniannya, serta agar kesenian yang mereka tampilkan tetap bisa menghadirkan, menghibur, dan menarik simpati banyak penonton. Baik dangdut maupun tari rakyat, keduanya merupakan seni massa di mana keduanya memiliki bentuk yang sederhana, bersifat menghibur, serta bertujuan menghadirkan penonton ketika pertunjukan. Perbedaannya hanya terletak pada ruang lingkup kesenian itu dikenal,  di mana Dangdut merupakan musik populer – industri - yang lebih banyak dikenal dan mudah dinikmati banyak orang, sedangkan pada umumnya tari rakyat hanya menjangkau dalam wilayah kebudayaan kesenian tersebut. Sehingga, memperpadukan musik dangdut menjadi alasan yang mendasar agar tari rakyat tetap mampu menarik simpati dan menghibur banyak penonton di jaman sekarang ini.

Elastisitas Musik Dangdut
            Masuknya element musik Dangdut menjadi bagian struktur pengiring tarian rakyat yang berbasis budaya Jawa ini, selain elastis terhadap musik-musik lain; “mengandung unsur-unsur musik India, Arab, dan Melayu, mengadopsi unsur-unsur musik Barat, rockn’roll, Regee, dan Rap, dan berbaur dengan musik etnis nusantara lain seperti Jawa, Sunda, Batak dan Minangkabau”(Takari:2001), alunan musik dangdut yang memang sangat dinamis dan cukup potensial untuk berjoget dan menari juga mampu menghadapi dan mempengaruhi bentuk-bentuk tarian rakyat di daerah Cepogo.
Hal ini tentunya terjadi karena adanya kesamaan dan kesesuaian aspek musikal antara gerakan dan iringan tari dengan musik Dangdut, hingga dangdut dan tari rakyat dapat diperpadukan tanpa proses yang begitu sulit. Hal ini dapat diamati pada ketukan birama 4/4 yang umumnya terdapat pada lagu dangdut, irama ini sesuai dengan gerakan tari yang mengacu pada perhitungan ketukan genap. Apalagi adanya instrument tabla – kendang, bangunan pola permainan ritme-ritme dari kedua tabung membran tersebut menjadi stimulus bunyi yang memang sangat pas untuk menari.

Terkikisnya Kepopuleran Musik Keroncong


Terkikisnya Kepopuleran Musik Keroncong
Oleh
 Kiswanto


            Musik populer pada dasarnya merupakan penyebutan dan pengklasifikasian dari genre-genre musik yang mudah diterima, dinikmati, didengarkan, dan diapresiasi oleh masyarakat luas, atau dengan istilah lain ‘seni massa’. Kepopuleran jenis-jenis musik populer tidak dapat terlepas dari dunia industri dan faktor media yang mampu menjembatani suatu karya kepada masyarakat luas.
            Ketika suatu karya musik dengan genre tertentu mampu dinikmati oleh masyarakat luas dengan waktu yang cepat, maka karya musik ini tergolong sebagai musik populer. Pada umumnya musik populer menggunakan struktur musikal yang tidak begitu rumit dan sulit agar mudah diterima dan nikmati masyarakat luas.
            Sekitar beberapa hari yang lalu (18/11/2011), di Balai Sujadmoko Surakarta terdapat sajian musik keroncong oleh kelompok ‘Setulus Hati’. Tepatnya jam 19.30 WIB  orkes keroncong yang notaben pemainnya dosen-dosen UNS Surakarta ini, memulai penyajiannya yang secara khusus membawakan lagu-lagu ciptaan Gesang sampai acara itu selesai.
            Ketika berbicara musik populer, banyak pakar menyebutkan bahwa keroncong termasuk dalam kategori musik populer. Hal ini menjadi perdebatan, ketika menyaksikan pertunjukan keroncong di beberapa tempat, seperti di Balai Sujadmoko tersebut, hanya terlihat sedikit kalangan anak muda yang menyaksikan dan menikmati musik keroncong. Kebanyakan penonton adalah orang-orang dewasa, itu pun hanya orang-orang tertentu. Hampir pada setiap pertunjukan keroncong, terjadi hal yang serupa.
Pada masa yang lalu, melalui proses adaptasi dan akulturasi dalam musik keroncong pernah mengalami masa-masa kejayaan. Melalui proses tersebut, musik keroncong hampir bisa dinikmati oleh masyarakat luas, seperti langgam jawa, keroncong beat, koes plus, campur sari, dan keroncong dangdut. Bisa dikatakan bahwa musik keroncong termasuk dalam kategori musik populer karena adanya musik keroncong campuran tersebut. Dalam keroncong campuran, semua aturan baku – pakem - Musik Keroncong tidak berlaku, karena mengikuti aturan baku – pakem - Musik Pop yang berlaku universal, misalnya tangga nada minor, moda pentatonis Jawa/Cina, rangkaian harmoni diatonik dan kromatik, akord disonan, sifat politonal atau atonal (pada campursari), tidak megenal lagi pakem bentuk keroncong asli atau stambul.
Melihat situasi keroncong yang demikian pada masa kejayaannya, Sebelum meninggal Gesang pernah mengatakan bahwa dia khawatir  musik keroncong akan mati (2008, dalam Wikipedia). Dalam hal ini, Gesang cenderung gelisah terhadap perkembangan musik keroncong sebagai musik populer yang tidak mengenal lagi pakem bentuk keroncong asli atau stambul. Musik keroncong diciptakan untuk dikomersialkan , sesuai dengan selera masyarakat, dan lebih mudah dinikmati masyarakat luas.
Hal di atas merupakan kontroversi musik keroncong pada waktu itu. Tapi jika dilihat dari sudut pandang sekarang, sangat dibutuhkan inovasi-inovasi dan kreasi musik keroncong seperti pada waktu kejayaannya. Contohnya Bondan Prakoso & Fade 2 Black, melalui latar belakang musik keroncong yang dipadukan dengan musik gaya rap dalam karyanya yang berjudul ‘Keroncong Bondol’, telah menunjukkan bahwa musik keroncong masih sangat dinikmati oleh masyarakat luas.
Tetapi juga perlu diperhatikan bahwa kebudayaan dalam masyarakat berkembang dan berubah-ubah, selera orang dulu dan sekarang sangat jauh berbeda. Pada saat ini dapat dikatakan bahwa jenis-jenis musik keroncong seperti langgam Jawa sudah kurang diminati masyarakat. Mengingat dunia industri yang menyuguhi banyak pilihan musik-musik populer, Bondan tentunya telah mempertimbangkan banyak aspek hingga karyanya dapat beredar di kalangan masyarakat. Sayangnya, saat ini hanya kita kenal Bondan & Fade 2 Black yang mempopulerkan lagi musik keroncong, itupun bukan menjadi genre utama dalam karya musiknya.
Banyak para pengamat musik menyebutkan musik keroncong sangat minim pengkarya. Tetapi, terlepas dari persoalan itu, bisa dikatakan jika ada pengkarya pun masih banyak mempertimbangkan terhadap beberapa aspek, seperti persaingan pasar dalam dunia industri. Agar musik keroncong dapat bersaing, tentunya karya musik yang dibuat harus lebih dari biasa. Dalam hal ini pengkarya pun harus mampu bereksperimen dengan karyanya.
Untuk kembali mempopulerkan musik keroncong masih banyak tantangan dan persoalan yang cukup kompleks. Sehingga pada prakteknya musik keroncong hanya menyajikan lagu-lagu terdahulu yang dulunya memang populer. Jika masyarakat mendengarkan apa yang telah didengar berulang kali, secara psikologis tetap akan mengalami kebosanan.

SANG JUARA TAK TENTU EKSIS


SANG JUARA TAK TENTU EKSIS
Oleh
Kiswanto


Masihkah kalian ingat Klantink? . . tentunya masih, Musisi Jalanan dari Surabaya yang berhasil mencapai ketenarannya setelah memenangkan IMB (Indonesia Mencari Bakat) yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta – Trans TV. Ini bagaikan mimpi bagi mereka, dari satu tempat ke tempat lain berusaha mencari sesuab nasi tiba-tiba telah dikenal dan dikagumi banyak orang. Apa yang diraihnya bukan sesuatu yang instant begitu saja, berbagai perjuangan yang panjang telah mereka lampaui, akhirnya pun hasil akhir menunjukkan musisi inilah pilihan masyarakat dan menjadi yang terbaik dalam ajang Indonesia Mencari Bakat.
Alat musik yang umumnya digunakan pengamen menjadi ciri khas bagi Klantink. Cello, ukulele, gitar, kendhang pralon, menjadi senjata andalan untuk berkreativitas dengan mengaransement lagu-lagu populer dengan cara mereka sendiri yang lebih identik dengan musik Keroncong. Lainnya, Klantink juga beberapa kali menyajikan karya dengan format yang berbeda dengan Keroncong. Salah satunya adalah perkusi helm dan perabot bengkel yang juga berhasil menarik hati para penonton. Dibanding dengan peserta yang lain, masyarakat tentunya lebih menghargai para musisi ini; mengingat latar belakang mereka dan karya-karyanya yang juga patut diacungi jempol.
Keberhasilan yang telah diraih Klantink sangat terkandung nilai-nilai sosial. Keberhasilan ini tentunya akan memberi gambaran pada masyarakat mengenai perjuangan hidup. Bagi musisi jalanan, ini akan menjadi contoh serta memotivasi untuk tetap berkarya penuh semangat menghadapi perjalanan hidup. Yang paling penting lagi, Kesuksesan dapat dicapai siapa saja, tergantung pada usaha yang telah dijalani serta nasib.    
Kesuksesan memang telah diraih Klantink. Namun, apakah saat ini wajah-wajah mereka sering kita temui di televisi?, tentunya sangat jarang. Perjuangan dan persaingan panjang hanya berhenti pada kemenangan kompetisi saja. Di  sisi yang jelas acara-acara televisi semacam ini memang ajang kompetisi pencarian bakat, di sisi lain acara ini bagaikan program yang memanfaatkan moment untuk menarik simpati dan minat pemirsa televisi. Dengan menayangkan acara-acara berkualitas dan berhasil menarik perhatian pemirsa yang cukup banyak, dapat diakui telah berhasil menyuguhkan program unggulan kepada masyarakat.
Heran, bibit-bibit unggul memang telah berhasil dipanen, namun mau diapakan bibit unggul ini? ini yang dipertanyakan terhadap program-program pencarian bakat. Selama ini yang saya tau hanyalah iming-iming hadiah berupa materi uang yang cukup besar dan menjadikan orang menjadi terkenal karena kemampuannya. Mungkin kesuksesan dan keberhasilan dari acara-acara seperti ini hanya terukur selama program sedang berlangsung. Hanya cukup memanen saja, setelah itu masih gak jelas.
Bukan yang pertama kali, hal ini sering juga kita temui pada program-progam sejenis yang sering disuguhkan di berbagai stasiun televisi di Indonesia.  Seharusnya tak cukup sampai di sini, jika memang program unggulan mengenai pencarian bakat, baik artis maupun program penyelanggara, keduanya harus mampu menunjukkan bahwa bakat itu selalu mengalir untuk disuguhkan kepada masyarakat. Tapi apa, dalam persaingan dunia industri, mereka tak mampu menunjukkan eksistensinya. Dalam hal ini tentunya lebih unggul artis-artis lain, walaupun beberapa masih diragukan kualitasnya, mereka tetap mampu menunjukkan eksistensinya.
Berbagai ajang bakat maupun sang juara-pun sebenarnya tetap berkompetensi dan berkualitas. Tapi perlu juga kita mengerti dan pahami ‘watak’ sang kapitalis sekarang ini; dunia industri dan media massa, di era sekarang ini sudah cenderung menyeragamkan musik-musik sekaligus mempengaruhi dan membentuk selera masyarakat. Mengapa demikian? melalui media, masyarakat selalu disuguhi menu yang demikian, dan akhirnya-pun mayoritas masyarakat hanya menyukai dari apa yang biasanya dilihat sehari-hari. Akhirnya, sebagian besar musisi kondang di Negeri ini-pun juga mengikuti arus tersebut, jika tidak, terancamlah eksistensi mereka karena tak laku edar di media. Begitu banyaknya program Ajang Bakat di televisi swasta nasional yang begitu ketat persaingannya, ini-pun terasa kan percuma, jika mereka ingin tetap eksis haruslah mengikuti langkah-langkah para kapitalis itu dan meluluhkan idealis serta musikalitas mereka.


Budaya Bajak


BAJAKAN ITU PERLU
Oleh
Kiswanto


Memang, anjuran ini terkesan pembodohan dan maksiat bagi manusia yang berakhlak dan mengerti hukum, bahkan bisa saja saya disebut provokator bagi masyarakat. Jangan salah, selain media massa, pembajakan merupakan hal yang cukup membantu kepopuleran suatu karya musik – lagu. Kepopuleran mereka-mereka – group band atau penyanyi, sangat dibantu dengan adanya pembajakan.
            Pengamat musik Bens Leo tak memungkiri jika ada penyanyi atau grup band yang meyakini bahwa aktivitas pengunduhan gratis di internet secara ilegal bisa menjadi salah satu media promosi yang murah meriah. Hal ini pun sudah terbukti terhadap beberapa artis Indonesia. “Contohnya adalah Kangen Band. Dulu lagu grup band asal Tanjung Karang itu dibajak ketika diputar di radio. Lalu dicari-cari, dijadikan komersil dan dibawa ke Jakarta. Akhirnya diburu dan populer," kata Bens kepada detikINET, Jumat (22/7/2011). Selanjutnya adalah grup band Armada. Bens mengatakan, grup band Armada dulu bernama Kertas dan lagunya dibajak dalam album yang sama dengan Kangen Band. "Kini, mereka pun memiliki hits yang sangat kuat," lanjutnya.(www.pandumusica).
Hal di atas sudah dapat menjelaskan betapa ‘berharganya’ pembajakan bagi artis-artis tersebut. Para pembajak bagaikan pahlawan bagi mereka, mereka menjadi seperti sekarang ini karena pembajakan. Bagi para musisi yang ingin terkenal, kasus-kasus tersebut dapat dipertimbangkan dan dicontoh.  Namanya juga usaha, siapa tau dengan menawarkan membajak dan membajakkan karya sendiri dengan cuma-cuma bisa menjadi artis terkenal.
            Di sisi lain, memang ada pihak yang sangat dirugikan, yaitu mayor lebel. Proses rekaman yang menghabiskan biaya berjuta-juta hanya dicuri dan dijual dengan harga murahan. Sangat wajar jika produser rekaman melarang dan menghindari adanya pembajakan, selain rugi material juga karena tidak dihargai dan terhina ulah para pembajak.
            Ada baik ada buruk, ada hitam ada putih, bukannya tak menghargai proses dan hukum, tapi kerugian itu biar diurusi mereka yang mengalami. Toh, lebih banyak yang diuntungkan dari pada yang dirugikan. Selain artis menjadi terkenal, banyak pihak yang diuntungkan. Mari kita telusuri manfaat-manfaat dari pembajakan ini.
            Di tengah-tengah perkembangan jaman dan sulitnya mencari pekerjaan. Membajak dan menjual rekaman bajakan dapat menjadi pilihan untuk mencari penghasilan. Pekerjaan yang tidak terlalu menguras keringat. Misalnya penjual, melalui bajakan rekaman yang telah dikirim, mereka tinggal bersantai dan menunggu dagangannya dibeli orang. Tak begitu susah penghasilan pun dapat.
Berbicara modal, pembajak lah yang membutuhkan modal usaha cukup banyak untuk membeli teknologi pembajak. Pembajak juga jangan dianggap remeh, walaupun ilegal bahkan bisa disebut pencuri, mereka juga harus berpikir dan menentukan strategi pasar agar hasil bajakannya dapat ditampung oleh penjual. Di sini, para pembajak juga harus pandai-pandai me-manage usaha yang mereka jalani.
Selain itu, perlu juga dipahami bahwa mayoritas penduduk Indonesia terdiri dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Banyak pertimbangan tentunya jika harus membeli sebuah CD/ rekaman dengan harga yang cukup tinggi. Pembanjakan cukup berperan di sini, dengan mudah masyarakat dapat mendapatkannya sekaligus menikmatinya.
Jika berbicara hukum, pembajak tergolong sebagai pencuri. penjual adalah penjual hasil curian, dan pembeli adalah penadah. Dalam kasus ini, semua telah melanggar hukum, semua salah, dan semua telah terjerat pasal-pasal hukum. Jika polisi menyikapi kasus ini, tentunya akan kualahan; penertiban dan razia terhadap penjualan CD bajakan tidak akan merata, penertiban hanya akan menimbulkan ketidak adilan.
Alangkah baiknya kita hiraukan hal ini saja karena permasalahan ini cukup kompleks. Jika kita hanya membicarakan persoalan negatif dari pembajakan, ini hanya pemikiran sempit saja. Seharusnya berpikir lebih luas, dibalik kejahatan ini lebih berlipat-lipat tersimpan kebaikan dan bermanfaat bagi masyarakat secara umum. Semua uraian-uraian sudah cukup menjelaskan bahwa pembajakan masih sangat diperlukan di Negeri tercinta ini.