Kamis, 23 Juni 2011

Contoh Anotasi

                                                                        ANOTASI

Ngadimah, Mambaul
“Kelestarian Shalawat Gembrungan; Integrasi Ajaran Islam dengan Seni Budaya Lokal: Studi Kasus di Desa Gotak Klorogan Kecamatan Geger Kabupaten Madiun”, Makalah dipresentasikan pada kegiatan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) IX Tahun 2009 tanggal 2 s.d. 5 November 2009 di Surakarta, (5).

Tema pokok penelitian ini adalah Kelestarian Shalawat Gembrungan: Integrasi Ajaran Islam dengan Seni Budaya Lokal (Studi Kasus di Desa Gotak Klorogan Geger Madiun). Untuk mengeksplorasi persoalan tersebut dikaji tiga persoalan penting: Pertama, shalawat Gembrungan dalam mempertahankan eksistensinya melalui proses: a. Adaptasi terhadap naskah syair yang aslinya (bahasa Arab), kemudian dikembangkan menjadi Arab-Jawa, dan yang terakhir huruf bahasa Jawa-Latin untuk memudahkan penyampaian pesan kepada umat. b. Pagelaran shalawat Gembrung pada awalnya hanya bertujuan untuk ibadah, syiar dan dakwah Islam yang dilaksanakan di lingkungan masjid, pondok pesantren, dan tempat-tempat umum kemudian berkembang menjadi pagelaran sebagai respon apresiasi, kebutuhan, dan hiburan untuk rakyat. c. Shalawat Gembrung sebagai bentuk integrasi budaya lokal Islam dengan budaya lokal Jawa. Kedua, pendukung kelestarian shalawat Gembrungan adalah [a] faktor internal, berupa motivasi religius dan ekonomi bagi subjek pemain Gembrung, estetika, ekspresi identitas seni Islam, penyempurnaan naskah, dan figur pimpinan paguyuban Gembrung Sakti yang kharismatik; dan [b] faktor eksternal, shalawat Gembrung merupakan kesenian tradisional Islam yang murah dan merakyat, motivasi religius bagi penanggap dan audience, romantisme historis dengan melestarikan budaya leluhur, kemudahan perizinan dan penyelenggaraan festival dari institusi pendidikan dan instansi pemerintah terkait. Penghambat kelestarian shalawat Gembrung adalah [a] faktor internal, sumber daya manusia (SDM) yang lemah, naskah syair shalawat Gembrung yang klasik bahasanya sulit dipahami audience karena masih menggunakan bahasa Jawa zaman kerajaan Mataram dan musik Gembrung terkesan monoton dan kuno; dan [b] faktor eksternal, tidak ada dukungan dari aparat pemerintah terkait untuk melestarikan shalawat Gembrung dan apresiasi masyarakat semakin berkurang karena banyaknya pilihan untuk menikmati hiburan dari berbagai jenis musik modern. Ketiga, sistem pewarisan shalawat Gembrung Sakti tidak terencana dengan baik, dan tidak ada upaya perekrutan anggota baru secara formal. Namun demikian proses regenerasi shalawat Gembrung Sakti berjalan secara alami melalui jalur genealogis (pewarisan melalui jalur hubungan keluarga) dan dukungan sosio-kultural lingkungannya.


Simatupang, G.R. Lono Lastoro
“Jagad Seni: Refleksi Kemanusiaan”, Makalah disampaikan dalam Workshop Tradisi Lisan, Seni Tradisi Lisan Sebagai Wahana Komunikasi yang Sangat Efektif di Tengah Masyarakat yang Sedang Berubah, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 6 September 2006, (11).

Makalah ini menyajikan beberapa pokok pemikiran mengenai dimensi reflektif jagad seni. Membicarakan soal seni sama dengan membicarakan manusia karena di dalam seni terkandung refleksi tentang relasi antara manusia dengan alam semesta, serta relasi antar manusia.Tulisan ini tersusun ke dalam lima bagian pembahasan yaitu: Bagian pertama berisi penelusuran singkat tentang istilah seni dan pengertiannya, pada bagian kedua membahas mengenai seni sebagai ekspresi manusia (estetika dan seni), Bagian ketiga pembahasan terfokus pada pergelaran seni yang membahas tiga hal penting yaitu realitas, pengalaman, dan ekspresinya. Bagian keempat membahas tentang pergelaran seni sebagai peristiwa ambang dan reflektif. Bagian kelima disampaikan tinjauan mengenai tradisi, keberlanjutan dan perubahannya. Dengan pembahasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa jagad seni adalah jagad refleksi kemanusiaan; sebuah dialektika yang tiada henti yang hanya akan berakhir pada saat sirnanya manusia dari atas bumi.


Tashadi
”Nilai-nilai Kesatuan dalam Keragaman Suku Bangsa”, artikel dalam jurnal sejarah dan budaya (Jantra), Vol. 1, No. 1 Juni 2006, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, (hal: 24-31).

Tulisan ini membahas tentang nilai-nilai budaya tentang persatuan dan kesatuan yang telah dimiliki dan dijunjung tinggi oleh masing-masing suku bangsa di Indonesia. Nilai-nilai tersebut antara lain: 1) Nilai yang terkait pada ajaran desa mawa cara negara mawa tata; 2) Nilai yang terkait pada ajaran kiwa tengen mula matunggalan; 3) Nilai toleransi; 4) Nilai menjunjung tinggi masyarakat dan kegotong royongan; 5) Nilai kesetiakawanan; dan 6) nilai tenggang rasa. Apabila nilai-nilai tersebut betul-betul bisa dilaksanakan maka kedamaian dan ketenteraman akan terwujud di Indonesia. ‘Bhinneka Tunggal Ika’ bukan hanya sebagai semboyan saja, tetapi merupakan pengikat negara Republik Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta dihuni beratus-ratus suku bangsa.


Widyastutieningrum, Sri Rochana
“Perkembangan Tari Gambyong Gaya Surakarta 1950 – 1993 (Kontinuitas dan Perubahannya)”, tesis untuk memperoleh derajat S-2 dalam Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1994, (X, 203).

Sebelum penelitian ini, penulis juga telah melakukan penelitian mengenai tari Gambyong, yaitu: (1) “Penggalian Tari Tradisional Gambyong Pareanom Mangkunegaran” (1985), dan (2) “Perkembangan Gambyong Pareanom” (1989). Dalam tesis ini penulis membahas mengenai permasalahan-permasalahan: Pertama, sejarah tari Gambyong dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat Jawa. Kedua, bentuk sajian tari Gambyong. Ketiga, perkembangan bentuk sajian tari Gambyong. Keempat, nilai estetis bentuk sajian tari Gambyong. Perkembangan tari Gambyong yang dirasakan menggembirakan itu sebenarnya adalah semu, karena yang terjadi bukan pada peningkatan nilai estetisnya (kualitas), melainkan hanya pada peningkatan jumlah koreografi, penyajian, dan jumlah penarinya (kuantitas). Perkembangan fungsi yang menonjol pada tari Gambyong adalah sebagai tari penyambutan tamu yang tampaknya hanya sebagai perabot ritual saja. Meskipun demikian, ditinjau dari segi ‘pasar’, Gambyong mampu meraih pasaran dengan baik.


Sumanto
“Nartosabdo Kehadiraannya dalam Dunia Pedalangan Sebuah Biografi”, tesis untuk memperoleh derajat S-2 dalam Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1990, (VIII, 159).

Kehadiran Nartosabdo dalam dunia pedalangan dapat ditelusur serta diperkirakan dimulai antara tahun 1950 dan 1955, sampai dengan awal bulan oktober 1985. Penelitian ini berusaha mengemukakan penjelasan dengan borientasi pada permasalahan untuk mengungkap sejarah sehubungan kehadiran Nartosabdo dalam dunia pedalangan. Permasalahan yang dibentangkan dimaksudkan sebagai pijakan awal menggali data yang diperlukan dalam merekontruksi fakta sejarah. Peneliti berusaha mendekati berbagai dimensi yang saling terkait, dengan pemahaman sejarah sebagai pendekatan utama, disamping meminjam kerangka pemikiran ilmu-ilmu sosial.


Santoso, Ajid Heri
“Fungsi Slompret dalam Pertunjukan Reog Ponorogo”, skripsi untuk mencapai derajat S-1 dalam Program Studi Etnomusikologi Jurusan Karawitan pada Institut Seni Indonesia, Surakarta, 2007, (X, 88, dan transkripsi sajian repertoar adegan warok keseluruhan).

Di dalam penelitian fungsi Slompret dalam pertunjukan reog, instumen Slompret merupakan intrumen penting dalam struktur musikal sajian Reog. Dengan nada-nada melodisnya, instrumen Slompret mampu memberi nuansa yang khas dan unik sehingga sajian gamelan Reog menjadi menarik. Tulisan ini membahas tiga hal penting, yaitu: (1) Mengetahui lebih jauh tentang fungsi instrumen Slompret di dalam pembentukan musikalitas pertunjukan Reog Ponorogo, (2) Menjelaskan dengan rinci seberapa jauh Slompret memberikan pengaruh dalam pertunjukan Reog Ponorogo, dan (3) Menunjukkan kedudukan Slompret sebagai instrumen penting dalam sajian pertunjukan Reog Ponorogo.


Nugroho, Ari
“Dangdutan dalam Adegan Limbukan dan Gara-gara pada Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta”, skripsi untuk mencapai derajat S-1 dalam Program Studi Etnomusikologi Jurusan Karawitan pada Institut Seni Indonesia, Surakarta, 2007, (XVII, 268).

Tulisan ini membahas mengenai wujud gaya dangdut yang ada sehingga bisa menjadi satu kesatuan dalam bingkai pertunjukan wayang, serta mengungkapkan konsep musikal yang ada di dalamnya. Permasalahan-permasalahan penting yang menjadi topik pembahasan adalah: (1) Begitu pentingnya adegan limbukan dan gara-gara dalam pakeliran sekarang (pasca reformasi), (2) Unsur-unsur budaya musikal dangdut, (3) Bentuk dan proses perwujudan dangdutan yang terdapat dalam adegan limbukan dan gara-gara, dan (4) Konsep musikal dangdutan yang terdapat dalam karawitan – musik – pakeliran.


Rahayu, Istiningtyas
“Terbentuknya Presentasi Nyanyian Ledek dalam Ledhek Barangan Desa Sukorejo Kedungjeruk Mojogedang Karanganyar”, skripsi untuk mencapai derajat S-1 dalam Program Studi Etnomusikologi Jurusan Karawitan pada Institut Seni Indonesia, Surakarta, 2005, (IX, 79).

Tulisan ini pada dasarnya bertujuan untuk mencari dan menjelaskan beberapa faktor terbentuknya suatu nyanyian ledek dalam konteks pertunjukan. Diketahui bahwa ledek barangan mengalami kesulitan membawakan nyanyian di luar konteks pertunjukan. Mereka hanya dapat mempresentasikan nyanyian pada situasi pertunjukan saja. Dalam penulisan ini membahas tiga hal penting, yaitu: (1) Nyanyian yang hanya dilangsungkan dalam kejadian pentas atau pertunjukan, (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga nyanyian hanya terbentuk dalam konteks pertunjukan saja, dan (3) Proses terbentuknya nyanyian sehingga ledek dapat menyanyikan gending atau lagu. Dengan pembahasan tersebut, maka dapat diperoleh dan dijelaskan (dipresentasikan) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu nyanyian ledek dalam konteks pertunjukan.


Pinan, A.R. Hakim Aman
“Kumpulan Cerita Rakyat Gayo”, dalam Bantacut/ Ishak Ali “Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo”, tidak diperdagangkan untuk umum. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983. (17-75).

Naskah ini merupakan himpunan beberapa cerita rakyat di Gayo. Ditulis oleh pengubahnya dalam bentuk prosa liris, berbahasa Gayo, dan sebagian darinya dalam bentuk puisi. Diungkapkan sedemikian rupa dengan kata-kata lembut yang mempunyai alunan irama indah. Agak mirip dengan hikayat, akan tetapi isi yang dipaparkan oleh penulis dalam buku ini adalah kejadian yang nyata. Kumpulan karangan ini terdiri dari 7 buah sub judul, yaitu: 1. Renyah Munuling, 2. Nenggeri Ujung Denie, 3. Munginte, 4. Manat I, 5. Mungaru, 6. Kekiding, dan 7. Manat II.


Jazuli, Muhammad
“Dalang Pertunjukan Wayang Kulit; Studi Tentang Ideologi Dalang dalam Perspektif Hubungan Negara dengan Masyarakat”, disertasi (ujian tahap I) pada Universitas Airlangga, Surabaya, 1999. (XIV, 394).

• Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memahami: Pertama, mengenai varian ideologi dalang, yaitu: Negara dan Masyarakat macam apa saja (sistem dan suasana) yang dicita-citakan oleh dalang (visi)?, apa yang dilakukan dalang untuk mencapai cita-cita itu (misi)?, apa saja tantangan yang dihadapi dalang atas fenomena sosialnya?, bagaimana cara dalang mengatasi tantangan itu (strategi)?. Kedua, mengenai pembentukan dan pengungkapan ideologi dalang, yaitu bagaimana ideologi dalang terbentuk dan direfleksikan dalam pertunjukan. Ketiga, posisi ideologi dalang dalam perspektif hubungan Negara dengan Masyarakat, yaitu dalang macam apa dan mengekspresikan posisi apa dalam perspektif hubungan Negara dengan Masyarakat?.
• Kontribusi studi ini dalam ilmu sosial adalah ingin menunjukkan bahwa dalang sebagai agen yang tidak homogen, demikian pula ideologinya.
• Secara teoritis, studi ini berupaya mengembangkan dan membangun teori (theory building) dalam bidang ilmu sosial dan ilmu budaya berdasarkan fenomena di lapangan yang diduga sangat bervariasi.

Selasa, 21 Juni 2011

PENTINGNYA NILAI PERSATUAN DAN KESATUAN DALAM LELAGON ‘GUGUR GUNUNG’ Oleh Kiswanto

PENTINGNYA NILAI PERSATUAN DAN KESATUAN DALAM LELAGON ‘GUGUR GUNUNG’
Oleh
Kiswanto


Pendahuluan

”UUD 1945 Pasal 32 yang menyatakan bahwa pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerah bertujuan untuk mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia. Juga diamanatkan bahwa pembinaan di bidang kebudayaan diarahkan untuk memberikan wawasan budaya dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap dimensi kehidupan bermasyarakat untuk meningkatkan harkat dan martabat jatidiri dalam kepribadian bangsa.” (Soehardi, tt:1).
”Lelagon merupakan kata bentuk-an la-lagu-an. Dalam bahasa Jawa la-la biasa dibaca atau diucapkan le-la. Sedang gu-an digarba – digabungkan – menjadi gon. Kata lalagon juga sering ditulis lelagon. Lelagon selain merupakan kata benda juga kata kerja. Sebagai kata benda secara harfiah lelagon diartikan sebagai kumpulan lagu-lagu. Sedang-kan sebagai kata kerja lelagon berarti melagukan lagu-lagu.” (Widodo, 2010:tt).

”Lagu dalam dunia musik juga sering disebut melodi.” (Widodo, 2010:tt) Secara umum pengertian ‘lagu’ adalah melodi vokal yang dilantunkan melalui kata-kata. Di Jawa Tengah sendiri ternyata masih banyak lagu-lagu rakyat yang sebenarnya di dalam teks lagu tersebut mengandung nilai dan makna yang dalam. Tentunya jika memahami makna dan nilai dari lagu-lagu tersebut akan mendapatkan pengetahuan sekaligus motivasi untuk menjalankan hidup, karena pengalaman hidup pembuat lagu tersebut merupakan kejadian nyata yang dapat digunakan orang lain sebagai bahan pembelajaran untuk menuju ke dalam hal yang lebih baik.
”Jakob Sumarjo (2000: 135) mengatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang bersifat subyektif bergantung pada manusia yang menilainya. Karena subyektif, maka setiap orang, kelompok orang, atau masyarakat memiliki nilai sendiri-sendiri. Sesuatu dikatakan mengandung nilai seni atau tidak amat bergantung orang di luar diri atau kelompoknya yang menilai. Nilai juga berkonteks praktis. Dalam hal ini sesuatu dianggap bernilai karena dianggap memiliki kegunaan dalam kehidupan. Faktor kebudayaan turut menentukan pandangan seseorang terhadap seni. Dengan demikian seni sebenarnya kontekstual karena nilai-nilainya bersifat kontekstual berhubungan dengan keperluan praktis dan fungsional.” (Widodo, 2010: tt).

”Ungkapan seni menurut Erich Kahler; seni adalah suatu kegiatan manusia yang menjelajahi, menciptakan realitas itu dengan simbol atau kiasan tentang keutuhan ’dunia kecil’ yang mencerminkan ’dunia besar’.” (Hermawati, 2008:10) Dalam pembahasan ini penulis akan mengkaji tentang makna simbolik sebuah lagu rakyat yang berjudul ’Gugur Gunung’. Teks lagu Gugur Gunung tersebut merupakan gambaran – simbol – mengenai proses untuk menuju kemajuan dan kejayaan bangsa Indonesia melalui bersatu untuk hidup rukun, saling bahu-membahu, dan bergotong-royong secara ikhlas sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat untuk menjalin kekuatan besar. Melalui pembahasan kandungan makna lagu tersebut penulis berharap masyarakat Jawa pada khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan seperti yang tercantum dalam Pancasila sila ke-3 yang berbunyi; ‘Persatuan Indonesia’.


Pembahasan

Teks Lagu ’Gugur Gunung’

Ayo kanca ayo kanca ngayahi karyane praja
Kene-kene-kene-kene gugur gunung tandang gawe
Sayuk-sayuk rukun bebarengan ro kancane
Lila lan legawa kanggo mulya ning Negara
Siji loro telu papat maju papat-papat
Diulang-ulung ake pamrih enggal rampunge
Holobis kontul baris holobis kontul baris
Holobis kontul baris holobis kontul baris

Terjemahan

Marilah kawan mengerjakan tugas negara
Kemarilah bahu-membahu untuk bekerja
Menyatu, rukun bersama-sama dengan kawan
Bekerja dengan ikhlas untuk kejayaan negara
Satu dua tiga empat - aba-aba - maju empat-empat
Dilakukan secara estafet agar – pekerjaan - segera selesai
Holobis Kontul baris holobis kontul baris - aba-aba

”Teks lagu di atas mengajak kita semua untuk melakukan tugas-tugas bangsa dan negara. Sejak kalimat pertama teks vokal menunjukkan betapa pengarang memiliki kecintaannya yang besar terhadap bangsa dan negara. Orang lain diajak untuk melakukan hal yang sama dengan cara mengerjakan tugas dan membuat karya sesuai keahliannya. Bersatu, rukun, bahu-membahu, bergotong-royong, dan ikhlas menjadi kekuatan besar dalam rangka mencapai kejayaan bangsa.” (Widodo, 2010:tt).
”Kehidupan masyarakat terorganisasi secara rapi, dalam masyarakat jawa tercermin dalam nilai-nilai budaya hormat dan rukun, dan konsep keseimbangan tercermin dalam terjaminnya pemerataan distribusi kesempatan dan sumber daya ekonomi, sosial, politik, dan budaya secara adil, serta terpeliharanya hubungan selaras dengan lingkungan alam. Dalam konteks ini, keseimbangan yang harus dijaga adalah ’tata tertib kosmos agar jangan sampai terganggu’.” (Lombard, 1996(3):132).

”Nilai budaya keserasian hidup bersama itu sesungguhnya telah menjadi filosofi dasar masyarakat Jawa, yaitu suatu cita-cita yang berupa ’tatanan sosial terorganisasi secara rapi dalam keseimbangan’.” (Kuper, dikutip Soehardi, tt:3). Dalam posisi hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat bersifat individual yang di mana seseorang tersebut dihadapkan pada suatu tatanan atau pranata sosial yang berlaku pada kelompok masyarakat tersebut. Manusia tentu saja tidak dapat menjalankan hidup sendiri yang di mana manusia hidup secara saling membutuhkan dan saling membantu satu sama lain sesama manusia. ”Dalam konstelasi hidup serasi setiap orang harus berikhtiar untuk bertindak sesuai, cocok, selaras, seirama dengan teladan yang diterapkan.” (Lombard, 1996(3):129). Seseorang yang hidup bermasyarakat tentunya harus mengikuti dan menaati tatanan sosial yang berlaku dalam kelompok masyarakatnya. Bagi seseorang yang tidak menaati tatanan sosial tersebut, maka orang tersebut akan mendapat sanksi sosial atau sanksi pergaulan yang di mana orang tersebut akan dikucilkan dari kelompok masyarakatnya.
“Perwujudan dari nilai keserasian hidup dapat dilihat dalam praktek kerja bersama yang populer yang disebut dengan ‘gotong-royong’.” (Soehardi, tt:4). Kerukunan semacam ini didasari oleh empat sifat dasar manusia, yaitu: simpati, keramahan, rasa keadilan, dan kepentingan pribadi yang selaras dengan tatanan sosial menurut adat-istiadat.” (Martindale, dikutip Soehardi, tt:4)

Hal yang paling mendasari dalam kerja gotong-royong adalah adanya kerukunan antar warga masyarakat. ”Keadaan rukun, berarti semua pihak berkeinginan dan bertindak ke arah suasana damai, saling membantu dan bekerja sama, saling menerima dengan tenang dan sepakat.” (Magnis-Suseno, dikutip Soehardi, tt:5). Di dalam kegiatan gotong-royong tersebut terdapat proses imbal balik yang merupakan hubungan sebab dan akibat dari aktivitas tersebut. Apabila seseorang melakukan pekerjaan pribadinya secara gotong-royong, berarti orang ini telah mengajak orang lain – masyarakat - untuk bekerja bersama-sama menyelesaikan pekerjaan pribadinya. Dengan demikian orang yang mengajak ini juga harus siap membantu pekerjaan orang lain yang diadakan secara gotong-royong. Dalam proses ini terjadi saling membantu dan dibantu antar warga masyarakat. Selain untuk membantu pekerjaan individu manusia, kerja gotong-royong ini biasanya juga sering digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan sosial – kepentingan bersama.
”Sebaiknya tidak mengutamakan kepentingan sendiri, dan giat rajin melakukan kewajiban, untuk memelihara ketentraman masyarakat dunia.” (Soehardi, tt:5). Budaya hidup rukun, gotong-royong, dan saling bahu-membahu sebenarnya adalah untuk mencapai tujuan yang bermanfaat karena dengan asas tersebut sesungguhnya akan mendapat kemudahan-kemudahan dalam menjalankan aktivitasnya. Misalnya saja dalam pembangunan rumah salah satu warga, bila pembangunan ini tidak dikerjakan secara gotong-royong dan bersama-sama tentunya banyak kesulitan dan kendala seperti semakin banyaknya kebutuhan ekonomi sebagai penyediaan upah pekerja. Tetapi bila pekerjaan tersebut dilaksanakan secara gotong-royong dan bersama-sama, kesulitan dan kendala itu akan berubah menjadi kemudahan dan kecepatan. Salah satu contoh perilaku yang tidak mengutamakan sifat kebersamaan dan saling bahu-membahu yang sering terjadi di Indonesia adalah tindakan ‘korupsi’ yang dilakukan oleh para koruptor . Perilaku tersebut sungguh sangat jauh dari asas gotong-royong, kebersamaan, dan saling bahu-membahu. Hal tersebut dilakukan hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi pelaku yang di mana tindakan tersebut sangat merugikan orang lain dan yang terutama bangsa Indonesia ini. Tindakan-tindakan seperti korupsi inilah salah satu penghambat bagi kemajuan dan kejayaan bangsa Indonesia. Untuk mencapai kemajuan dan kejayaan bangsa Indonesia tentunya tindakan-tindakan seperti itu harus dihilangkan dari negara ini.


Kesimpulan

Asas kebersamaan, saling bahu-membahu, dan hidup rukun merupakan wujud keserasian dan keselarasan dalam masyarakat yang menjadi faktor pendukung untuk mencapai kemajuan dan kejayaan bangsa Indonesia. Apabila seseorang sudah mementingkan kepentingan individu yang tidak memperhatikan kepentingan sosial, maka untuk menuju kemajuan dan kejayaan bangsa Indonesia akan sulit tercapai.
Gotong-royong merupakan wujud dari kerukunan hidup masyarakat yang di mana hidup rukun merupakan hidup yang terjauh dari perselisihan atau konflik antar masyarakat. Apabila kerukunan tersebut tidak ada dalam masyarakat maka gotong-royong ini tidak akan ada dalam masyarakat. Dengan demikian, sifat kebersamaan dan saling bahu-membahu harus tertanamkan pada setiap warga negara Indonesia.
Faktor yang terpenting untuk menuju kejayaan dan kemajuan bangsa Indonesia adalah persatuan dan kesatuan semua warga negara Indonesia. Dengan asas kebersamaan, saling bahu-membahu, dan hidup rukun yang dilakukan oleh semua pihak, maka semua permasalahan-permasalahan yang ada dalam negara ini akan cepat terselesaikan.


Daftar Pustaka


Hermawati, Sri., dkk. 2008, Seni Budaya Jilid 1. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Lombard, Denys. 1996, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Soehardi. tt, “Nilai-nilai Tradisi Lisan dalam Budaya Jawa”, artikel dalam http://www.pdfound.com

Widodo. 2010, “Nilai-nilai Luhur dalam Lelagon Dolanan” artikel dalam http://www.j-harmonia.com