Senin, 17 Desember 2012

“Gelar 300 Jaranan”, Minim Antusias


“Gelar 300 Jaranan”, Minim Antusias
Oleh
Kiswanto


Sebuah perhelatan akbar “Gelar 300 Jaran Kepang” disuguhkan gratis selama tiga hari kepada masyarakat. Pagelaran ini menghadirkan berbagai macam seni jaranan dari berbagai daerah di Jawa Tengah, sekaligus menjadi bagian dari serangkaian event “Seni Pertunjukan Tradisional Indonesia” di Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta dari Sabtu kemarin. 
Minggu (25/11/2012) adalah hari pertama diadakannya gelar jaranan ini. Sejak upacara pembukaan pukul 09.00 WIB, rombongan-rombongan seni yang juga akrab disebut Kuda Lumping terlihat mulai berdatangan memadati area Pendhopo Ageng TBS menjadi ‘penuh warna’. Sebelumnya, beberapa kelompok saling mengantri untuk GR, check panggung, maupun check sound. Sampai pementasan dimulai, menginjak siang sampai sore hari, dengan semangatnya para penampil sangat antusias memamerkan karyanya.
Fasilitas yang diberikan pihak penyelenggara pun juga cukup lengkap. Selama berada di lokasi, per kelompok disediakan dua kali makan & minum, Wisma Seni sebagai tempat penginapan dan peristirahatan, tempat rias yang layak, serta anggaran dana yang telah disepakati. Selain mendapat fasilitas yang demikian, tentunya suatu kebanggaan tersendiri bagi kelompok kesenian rakyat yang datang berjauhan hingga dapat berpartisipasi ke TBS, suatu tempat yang cukup terkenal sebagai tempat pertunjukan seni.
Tidak pandang bulu, dari yang berprestasi sampai yang tidak berprestasi sama sekalipun diikutkan dalam ajang ini. Hal ini menunjukkan begitu perhatiannya penyelenggara mengapresiasi akan eksistensi kesenian Jaranan di Jawa Tengah. Pagelaran ini juga mengingatkan pernyataan Bibit Waluyo yang menjustifikasi bahwa kesenian Jaran Kepang itu kesenian daerah yang ‘jelek’, wujud apreasiasi pihak TBS ini nampaknya juga sebagai wujud respon akan kekayaan dan keberagaman seni Jaranan di Jawa Tengah terhadap Gubernur Jateng tersebut. Hal ini juga dapat diamati dari ucapan-ucapan kedua MC yang sering mengemukakan; “mosok seni Jaranan diarani jelek, jelek’e nendi?”.
  Para penyaji saling berunjuk kebolehannya masing-masing. Adanya interaksi yang terjalin dalam pertunjukan ini tentunya sangat bermanfaat bagi para penampil, setelah saling mengamati aneka ragam pertunjukan Jaranan tentunya dapat mengevaluasi kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dampaknya, akan menjadi inspirasi dan motivasi para seniman Jaranan agar tetap mempertahankan eksistensinya sekaligus mengembangkannya.
 Kursi-kursi yang disiapkan panitia penuh ditempati penonton, hingga sebagian sampai menyaksikan dengan berdiri dan duduk di atas lantai area pendhopo. Sebagian besar penonton ini tak lain adalah para penampil yang menunggu giliran pentas, beristirahat, ataupun sekedar menyaksikan. Antusiasme masyarakat setempat terlebih Solo pada umumnya sangat kurang, mengingat event ini mendatangkan kesenian dari berbagai daerah yang sekaligus juga bertaraf Nasional.
Pendhopo memang agak penuh, namun area luar seputaran pendhopo begitu sepi pengunjung. Nampaknya “Gelar 300 Jaranan” ini kurang terpublikasi jauh-jauh hari dengan baik. Event-event bertaraf lokal saja bisa dipadati pengunjung, tapi mengapa perhelatan akbar ini tidak?, cukup disayangkan tentunya. Selain lemahnya publikasi, kurangnya antusias masyarakat Solo juga menunjukkan bahwa panitia gagal mem-branding event yang diadakannya, bahkan mungkin sama sekali tidak mem-branding-nya.
 Budaya jam karet pun juga terjadi dalam pagelaran ini, jadwal yang direncanakan menunjukkan jam 08.00 tepat akan dimulai, jam 09.00 lebih baru dimulai. Padahal, sebelum jam 08.00 sudah banyak kelompok seni yang tiba sekaligus telah siap pentas. Bisa saja molor-nya waktu ini terjadi karena sebab-sebab yang tidak dapat dihindari, ataupun kebiasaan buruk yang telah membudaya, tapi yang jelas hal ini menunjukkan kurangnya profesionalitas para panitia.
Para penampil akan pentas sesuai dengan hari dan tanggal yang telah ditentukan panitia dalam undangan. Sebelumnya undangan resmi terhadap kelompok Jaranan telah tersebar, koordinasi pra-event antara panitia dengan kelompok Jaranan juga terjalin. Terlihat di Boyolali, Jatmiko stage manager dari event ini sering terjun ke lapangan langsung ke beberapa kelompok kesenian.
Atas kesengajaan atau tidak, satu hari sebelum event diadakan hingga pagi hari event dibuka, dead-line waktu pementasan (run down) per-penampil belum diinformasikan dengan jelas, para penampil ‘kebingungan’ kapan waktu pentasnya? serta mendapat giliran yang ke berapa?. Menurut informasi yang didapat dari salah seorang ketua kesenian Jaranan “Turonggo Seto” dari Boyolali (Suharmin) minggu pagi, menuturkan bahwa jadwal pentas akan diberitahukan panitia setelah acara pembukaan, sekaligus berdasarkan pertimbangan kesenian yang telah hadir dan siap. Ternyata benar, jadwal bergilir masing-masing Jaranan baru diberitahukan setelah “Gelar 300 Jaranan” dibuka.  Hal ini tentunya kurang efisien bagi para penampil yang datang, akibatnya akan terlalu lama menunggu serta memperpanjang waktu berada di lokasi event.

‘MODERNISASI’ TARI RAKYAT DI CEPOGO


‘MODERNISASI’ TARI RAKYAT DI CEPOGO
Oleh
Kiswanto


Seni rakyat, penyebutan ini pada dasarnya memang ditinjau dari strativikasi kehidupan sosial masyarakat, antara elite dan rakyat. Tidak bermaksud membedakan mana yang baik dan mana yang jelek, tetapi sebagai klasifikasi seni yang secara garis besar memang memiliki perbedaan konsep.  “Seni rakyat  merupakan kesenian yang lahir,  hidup, dan menjadi bagian dari kehidupan sosial-budaya masyarakat pedesaan – tani, nelayan, perburuan. Fungsinya sebagai sarana pelestarian kehidupan bermasyarakat - solidaritas sosial, ritual kepercayaan, dan sarana hiburan. Bentuknya sederhana;  garap tidak rumit; peralatan dan properti sederhana atau seadanya.  Merupakan unity dengan unsur-unsur:  cerita,  dialog,  musik,  tari,  banyol, sedih,  gembira” (Rustopo, dalam MK SPI).
Kreativitas-kreativitas untuk mengembangkan dan menjaga eksistensinya-pun bermunculan dalam seni ini, seperti yang terjadi di Kecamatan Cepogo, Boyolali. Dalam pementasan tarian rakyat kelompok ‘Kridho Seto’ beberapa hari yang lalu (24/12/11), tepatnya di Dk. Blambangan, Ds. Gedangan, Kec. Cepogo, Kab. Boyolali, Selain dipentaskan secara mandiri musik Dangdut menjadi bagian dari struktur iringan tari rakyat, selain iringan gendhing-gendhing Jawa. Bukan hanya pada kelompok ini, kehadiran genre musik Dangdut ini pun telah menjadi ciri khas di daerah tersebut, ini terjadi pada hampir semua tari rakyat di daerah tersebut; seperti Yakso Jati di Dk. Sidosari, Pakem di Dk. Kadisono dan lainnya. Bentuk-bentuk tariannya-pun berbeda-beda; ada yang sejenis Jaranan, Buto, Warokan, dan lain-lain.

Modernisasi
Ke-khas-an tari rakyat di Cepogo yang hampir semuanya telah terdapat element musik Dangdut di dalamnya, hal ini tentunya tidak terjadi serta merta dalam waktu yang cepat begitu saja. Terlebih dahulu pasti ada sebab-sebab yang melatar belakanginya hingga akhirnya mampu dianut dan tersebar luas di daerah tersebut. Persoalan ini tak terlepas dari arus perkembangan jaman dan globalisasi - Media massa, industri, serta teknologi - yang menjadi pengaruh utama terhadap perubahan pola-pola kehidupan sosial masyarakat. Perubahan ini terjadi sangat kompleks berpengaruh di hampir segala bidang, tak terkecuali kesenian. Dalam situasi yang demikian, masyarakat selalu disuguhi dan dimudahkan beraneka macam menu-menu kebutuhan baru yang lebih efektif dan efisien, sehingga ‘modernisasi’ menjadi arus kebutuhan yang tidak dapat dihindari.  “modernisasi merupakan proses yang bertahap, yaitu mulai dari tahap tradisional menuju masyarakat modern. modernisasi merupakan proses progresif. Dalam jangka panjang modernisasi meningkatkan kesejahteraan manusia, baik kultural maupun material-material”(Samuel P.H).
Dalam kasus kesenian rakyat, kebanyakan bentuk sajian tari rakyat yang masih monotone, sederhana, serta melulu itu aja, ini mengindikasi bahwa masuknya musik Dangdut dalam kesenian tersebut karena mereka menginginkan sesuatu yang baru juga dalam keseniannya, serta agar kesenian yang mereka tampilkan tetap bisa menghadirkan, menghibur, dan menarik simpati banyak penonton. Baik dangdut maupun tari rakyat, keduanya merupakan seni massa di mana keduanya memiliki bentuk yang sederhana, bersifat menghibur, serta bertujuan menghadirkan penonton ketika pertunjukan. Perbedaannya hanya terletak pada ruang lingkup kesenian itu dikenal,  di mana Dangdut merupakan musik populer – industri - yang lebih banyak dikenal dan mudah dinikmati banyak orang, sedangkan pada umumnya tari rakyat hanya menjangkau dalam wilayah kebudayaan kesenian tersebut. Sehingga, memperpadukan musik dangdut menjadi alasan yang mendasar agar tari rakyat tetap mampu menarik simpati dan menghibur banyak penonton di jaman sekarang ini.

Elastisitas Musik Dangdut
            Masuknya element musik Dangdut menjadi bagian struktur pengiring tarian rakyat yang berbasis budaya Jawa ini, selain elastis terhadap musik-musik lain; “mengandung unsur-unsur musik India, Arab, dan Melayu, mengadopsi unsur-unsur musik Barat, rockn’roll, Regee, dan Rap, dan berbaur dengan musik etnis nusantara lain seperti Jawa, Sunda, Batak dan Minangkabau”(Takari:2001), alunan musik dangdut yang memang sangat dinamis dan cukup potensial untuk berjoget dan menari juga mampu menghadapi dan mempengaruhi bentuk-bentuk tarian rakyat di daerah Cepogo.
Hal ini tentunya terjadi karena adanya kesamaan dan kesesuaian aspek musikal antara gerakan dan iringan tari dengan musik Dangdut, hingga dangdut dan tari rakyat dapat diperpadukan tanpa proses yang begitu sulit. Hal ini dapat diamati pada ketukan birama 4/4 yang umumnya terdapat pada lagu dangdut, irama ini sesuai dengan gerakan tari yang mengacu pada perhitungan ketukan genap. Apalagi adanya instrument tabla – kendang, bangunan pola permainan ritme-ritme dari kedua tabung membran tersebut menjadi stimulus bunyi yang memang sangat pas untuk menari.

Terkikisnya Kepopuleran Musik Keroncong


Terkikisnya Kepopuleran Musik Keroncong
Oleh
 Kiswanto


            Musik populer pada dasarnya merupakan penyebutan dan pengklasifikasian dari genre-genre musik yang mudah diterima, dinikmati, didengarkan, dan diapresiasi oleh masyarakat luas, atau dengan istilah lain ‘seni massa’. Kepopuleran jenis-jenis musik populer tidak dapat terlepas dari dunia industri dan faktor media yang mampu menjembatani suatu karya kepada masyarakat luas.
            Ketika suatu karya musik dengan genre tertentu mampu dinikmati oleh masyarakat luas dengan waktu yang cepat, maka karya musik ini tergolong sebagai musik populer. Pada umumnya musik populer menggunakan struktur musikal yang tidak begitu rumit dan sulit agar mudah diterima dan nikmati masyarakat luas.
            Sekitar beberapa hari yang lalu (18/11/2011), di Balai Sujadmoko Surakarta terdapat sajian musik keroncong oleh kelompok ‘Setulus Hati’. Tepatnya jam 19.30 WIB  orkes keroncong yang notaben pemainnya dosen-dosen UNS Surakarta ini, memulai penyajiannya yang secara khusus membawakan lagu-lagu ciptaan Gesang sampai acara itu selesai.
            Ketika berbicara musik populer, banyak pakar menyebutkan bahwa keroncong termasuk dalam kategori musik populer. Hal ini menjadi perdebatan, ketika menyaksikan pertunjukan keroncong di beberapa tempat, seperti di Balai Sujadmoko tersebut, hanya terlihat sedikit kalangan anak muda yang menyaksikan dan menikmati musik keroncong. Kebanyakan penonton adalah orang-orang dewasa, itu pun hanya orang-orang tertentu. Hampir pada setiap pertunjukan keroncong, terjadi hal yang serupa.
Pada masa yang lalu, melalui proses adaptasi dan akulturasi dalam musik keroncong pernah mengalami masa-masa kejayaan. Melalui proses tersebut, musik keroncong hampir bisa dinikmati oleh masyarakat luas, seperti langgam jawa, keroncong beat, koes plus, campur sari, dan keroncong dangdut. Bisa dikatakan bahwa musik keroncong termasuk dalam kategori musik populer karena adanya musik keroncong campuran tersebut. Dalam keroncong campuran, semua aturan baku – pakem - Musik Keroncong tidak berlaku, karena mengikuti aturan baku – pakem - Musik Pop yang berlaku universal, misalnya tangga nada minor, moda pentatonis Jawa/Cina, rangkaian harmoni diatonik dan kromatik, akord disonan, sifat politonal atau atonal (pada campursari), tidak megenal lagi pakem bentuk keroncong asli atau stambul.
Melihat situasi keroncong yang demikian pada masa kejayaannya, Sebelum meninggal Gesang pernah mengatakan bahwa dia khawatir  musik keroncong akan mati (2008, dalam Wikipedia). Dalam hal ini, Gesang cenderung gelisah terhadap perkembangan musik keroncong sebagai musik populer yang tidak mengenal lagi pakem bentuk keroncong asli atau stambul. Musik keroncong diciptakan untuk dikomersialkan , sesuai dengan selera masyarakat, dan lebih mudah dinikmati masyarakat luas.
Hal di atas merupakan kontroversi musik keroncong pada waktu itu. Tapi jika dilihat dari sudut pandang sekarang, sangat dibutuhkan inovasi-inovasi dan kreasi musik keroncong seperti pada waktu kejayaannya. Contohnya Bondan Prakoso & Fade 2 Black, melalui latar belakang musik keroncong yang dipadukan dengan musik gaya rap dalam karyanya yang berjudul ‘Keroncong Bondol’, telah menunjukkan bahwa musik keroncong masih sangat dinikmati oleh masyarakat luas.
Tetapi juga perlu diperhatikan bahwa kebudayaan dalam masyarakat berkembang dan berubah-ubah, selera orang dulu dan sekarang sangat jauh berbeda. Pada saat ini dapat dikatakan bahwa jenis-jenis musik keroncong seperti langgam Jawa sudah kurang diminati masyarakat. Mengingat dunia industri yang menyuguhi banyak pilihan musik-musik populer, Bondan tentunya telah mempertimbangkan banyak aspek hingga karyanya dapat beredar di kalangan masyarakat. Sayangnya, saat ini hanya kita kenal Bondan & Fade 2 Black yang mempopulerkan lagi musik keroncong, itupun bukan menjadi genre utama dalam karya musiknya.
Banyak para pengamat musik menyebutkan musik keroncong sangat minim pengkarya. Tetapi, terlepas dari persoalan itu, bisa dikatakan jika ada pengkarya pun masih banyak mempertimbangkan terhadap beberapa aspek, seperti persaingan pasar dalam dunia industri. Agar musik keroncong dapat bersaing, tentunya karya musik yang dibuat harus lebih dari biasa. Dalam hal ini pengkarya pun harus mampu bereksperimen dengan karyanya.
Untuk kembali mempopulerkan musik keroncong masih banyak tantangan dan persoalan yang cukup kompleks. Sehingga pada prakteknya musik keroncong hanya menyajikan lagu-lagu terdahulu yang dulunya memang populer. Jika masyarakat mendengarkan apa yang telah didengar berulang kali, secara psikologis tetap akan mengalami kebosanan.

SANG JUARA TAK TENTU EKSIS


SANG JUARA TAK TENTU EKSIS
Oleh
Kiswanto


Masihkah kalian ingat Klantink? . . tentunya masih, Musisi Jalanan dari Surabaya yang berhasil mencapai ketenarannya setelah memenangkan IMB (Indonesia Mencari Bakat) yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta – Trans TV. Ini bagaikan mimpi bagi mereka, dari satu tempat ke tempat lain berusaha mencari sesuab nasi tiba-tiba telah dikenal dan dikagumi banyak orang. Apa yang diraihnya bukan sesuatu yang instant begitu saja, berbagai perjuangan yang panjang telah mereka lampaui, akhirnya pun hasil akhir menunjukkan musisi inilah pilihan masyarakat dan menjadi yang terbaik dalam ajang Indonesia Mencari Bakat.
Alat musik yang umumnya digunakan pengamen menjadi ciri khas bagi Klantink. Cello, ukulele, gitar, kendhang pralon, menjadi senjata andalan untuk berkreativitas dengan mengaransement lagu-lagu populer dengan cara mereka sendiri yang lebih identik dengan musik Keroncong. Lainnya, Klantink juga beberapa kali menyajikan karya dengan format yang berbeda dengan Keroncong. Salah satunya adalah perkusi helm dan perabot bengkel yang juga berhasil menarik hati para penonton. Dibanding dengan peserta yang lain, masyarakat tentunya lebih menghargai para musisi ini; mengingat latar belakang mereka dan karya-karyanya yang juga patut diacungi jempol.
Keberhasilan yang telah diraih Klantink sangat terkandung nilai-nilai sosial. Keberhasilan ini tentunya akan memberi gambaran pada masyarakat mengenai perjuangan hidup. Bagi musisi jalanan, ini akan menjadi contoh serta memotivasi untuk tetap berkarya penuh semangat menghadapi perjalanan hidup. Yang paling penting lagi, Kesuksesan dapat dicapai siapa saja, tergantung pada usaha yang telah dijalani serta nasib.    
Kesuksesan memang telah diraih Klantink. Namun, apakah saat ini wajah-wajah mereka sering kita temui di televisi?, tentunya sangat jarang. Perjuangan dan persaingan panjang hanya berhenti pada kemenangan kompetisi saja. Di  sisi yang jelas acara-acara televisi semacam ini memang ajang kompetisi pencarian bakat, di sisi lain acara ini bagaikan program yang memanfaatkan moment untuk menarik simpati dan minat pemirsa televisi. Dengan menayangkan acara-acara berkualitas dan berhasil menarik perhatian pemirsa yang cukup banyak, dapat diakui telah berhasil menyuguhkan program unggulan kepada masyarakat.
Heran, bibit-bibit unggul memang telah berhasil dipanen, namun mau diapakan bibit unggul ini? ini yang dipertanyakan terhadap program-program pencarian bakat. Selama ini yang saya tau hanyalah iming-iming hadiah berupa materi uang yang cukup besar dan menjadikan orang menjadi terkenal karena kemampuannya. Mungkin kesuksesan dan keberhasilan dari acara-acara seperti ini hanya terukur selama program sedang berlangsung. Hanya cukup memanen saja, setelah itu masih gak jelas.
Bukan yang pertama kali, hal ini sering juga kita temui pada program-progam sejenis yang sering disuguhkan di berbagai stasiun televisi di Indonesia.  Seharusnya tak cukup sampai di sini, jika memang program unggulan mengenai pencarian bakat, baik artis maupun program penyelanggara, keduanya harus mampu menunjukkan bahwa bakat itu selalu mengalir untuk disuguhkan kepada masyarakat. Tapi apa, dalam persaingan dunia industri, mereka tak mampu menunjukkan eksistensinya. Dalam hal ini tentunya lebih unggul artis-artis lain, walaupun beberapa masih diragukan kualitasnya, mereka tetap mampu menunjukkan eksistensinya.
Berbagai ajang bakat maupun sang juara-pun sebenarnya tetap berkompetensi dan berkualitas. Tapi perlu juga kita mengerti dan pahami ‘watak’ sang kapitalis sekarang ini; dunia industri dan media massa, di era sekarang ini sudah cenderung menyeragamkan musik-musik sekaligus mempengaruhi dan membentuk selera masyarakat. Mengapa demikian? melalui media, masyarakat selalu disuguhi menu yang demikian, dan akhirnya-pun mayoritas masyarakat hanya menyukai dari apa yang biasanya dilihat sehari-hari. Akhirnya, sebagian besar musisi kondang di Negeri ini-pun juga mengikuti arus tersebut, jika tidak, terancamlah eksistensi mereka karena tak laku edar di media. Begitu banyaknya program Ajang Bakat di televisi swasta nasional yang begitu ketat persaingannya, ini-pun terasa kan percuma, jika mereka ingin tetap eksis haruslah mengikuti langkah-langkah para kapitalis itu dan meluluhkan idealis serta musikalitas mereka.


Budaya Bajak


BAJAKAN ITU PERLU
Oleh
Kiswanto


Memang, anjuran ini terkesan pembodohan dan maksiat bagi manusia yang berakhlak dan mengerti hukum, bahkan bisa saja saya disebut provokator bagi masyarakat. Jangan salah, selain media massa, pembajakan merupakan hal yang cukup membantu kepopuleran suatu karya musik – lagu. Kepopuleran mereka-mereka – group band atau penyanyi, sangat dibantu dengan adanya pembajakan.
            Pengamat musik Bens Leo tak memungkiri jika ada penyanyi atau grup band yang meyakini bahwa aktivitas pengunduhan gratis di internet secara ilegal bisa menjadi salah satu media promosi yang murah meriah. Hal ini pun sudah terbukti terhadap beberapa artis Indonesia. “Contohnya adalah Kangen Band. Dulu lagu grup band asal Tanjung Karang itu dibajak ketika diputar di radio. Lalu dicari-cari, dijadikan komersil dan dibawa ke Jakarta. Akhirnya diburu dan populer," kata Bens kepada detikINET, Jumat (22/7/2011). Selanjutnya adalah grup band Armada. Bens mengatakan, grup band Armada dulu bernama Kertas dan lagunya dibajak dalam album yang sama dengan Kangen Band. "Kini, mereka pun memiliki hits yang sangat kuat," lanjutnya.(www.pandumusica).
Hal di atas sudah dapat menjelaskan betapa ‘berharganya’ pembajakan bagi artis-artis tersebut. Para pembajak bagaikan pahlawan bagi mereka, mereka menjadi seperti sekarang ini karena pembajakan. Bagi para musisi yang ingin terkenal, kasus-kasus tersebut dapat dipertimbangkan dan dicontoh.  Namanya juga usaha, siapa tau dengan menawarkan membajak dan membajakkan karya sendiri dengan cuma-cuma bisa menjadi artis terkenal.
            Di sisi lain, memang ada pihak yang sangat dirugikan, yaitu mayor lebel. Proses rekaman yang menghabiskan biaya berjuta-juta hanya dicuri dan dijual dengan harga murahan. Sangat wajar jika produser rekaman melarang dan menghindari adanya pembajakan, selain rugi material juga karena tidak dihargai dan terhina ulah para pembajak.
            Ada baik ada buruk, ada hitam ada putih, bukannya tak menghargai proses dan hukum, tapi kerugian itu biar diurusi mereka yang mengalami. Toh, lebih banyak yang diuntungkan dari pada yang dirugikan. Selain artis menjadi terkenal, banyak pihak yang diuntungkan. Mari kita telusuri manfaat-manfaat dari pembajakan ini.
            Di tengah-tengah perkembangan jaman dan sulitnya mencari pekerjaan. Membajak dan menjual rekaman bajakan dapat menjadi pilihan untuk mencari penghasilan. Pekerjaan yang tidak terlalu menguras keringat. Misalnya penjual, melalui bajakan rekaman yang telah dikirim, mereka tinggal bersantai dan menunggu dagangannya dibeli orang. Tak begitu susah penghasilan pun dapat.
Berbicara modal, pembajak lah yang membutuhkan modal usaha cukup banyak untuk membeli teknologi pembajak. Pembajak juga jangan dianggap remeh, walaupun ilegal bahkan bisa disebut pencuri, mereka juga harus berpikir dan menentukan strategi pasar agar hasil bajakannya dapat ditampung oleh penjual. Di sini, para pembajak juga harus pandai-pandai me-manage usaha yang mereka jalani.
Selain itu, perlu juga dipahami bahwa mayoritas penduduk Indonesia terdiri dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Banyak pertimbangan tentunya jika harus membeli sebuah CD/ rekaman dengan harga yang cukup tinggi. Pembanjakan cukup berperan di sini, dengan mudah masyarakat dapat mendapatkannya sekaligus menikmatinya.
Jika berbicara hukum, pembajak tergolong sebagai pencuri. penjual adalah penjual hasil curian, dan pembeli adalah penadah. Dalam kasus ini, semua telah melanggar hukum, semua salah, dan semua telah terjerat pasal-pasal hukum. Jika polisi menyikapi kasus ini, tentunya akan kualahan; penertiban dan razia terhadap penjualan CD bajakan tidak akan merata, penertiban hanya akan menimbulkan ketidak adilan.
Alangkah baiknya kita hiraukan hal ini saja karena permasalahan ini cukup kompleks. Jika kita hanya membicarakan persoalan negatif dari pembajakan, ini hanya pemikiran sempit saja. Seharusnya berpikir lebih luas, dibalik kejahatan ini lebih berlipat-lipat tersimpan kebaikan dan bermanfaat bagi masyarakat secara umum. Semua uraian-uraian sudah cukup menjelaskan bahwa pembajakan masih sangat diperlukan di Negeri tercinta ini.  

Jumat, 14 Desember 2012

TINJAUAN SAJIAN LAGU ILIR-ILIR DALAM TIGA VERSI – ARANSEMENT

TINJAUAN SAJIAN LAGU ILIR-ILIR DALAM TIGA VERSI – ARANSEMENT
Oleh
Kiswanto

Berdasarkan pemahaman masyarakat pada umumnya, secara oral beranggapan bahwa teks syair lagu Ilir-ilir diciptakan oleh tokoh penyebar agama Islam di Jawa, yaitu Sunan Kalijaga di mana lelagon ini difungsikan sebagai sarana dakwah; berupa peringatan atau ajakan kepada manusia yang diungkapkan melalui media lagu tersebut. Mengingat lagu ini yang memiliki nilai sejarah dan nilai dakwah, seringkali ditemukan penyajian lagu ini dalam berbagai aransement seperti keroncong, dangdut, hadrah, campur sari, dan lain-lain. Penulis tertarik untuk mengkaji aransement tiga kelompok musik yang didownload dari Youtube dengan bentuk genre – jenis - musik yang berbeda-beda, yaitu Jamiyah Sholawat Sawunggaling yang mengaransement lagu Ilir-ilir dalam bentuk hadrah – terbangan, OM. Palapa dengan aransement dangdut koplo, dan Emha dan Group yang mengaransement dalam bentuk keroncong.
Dalam kajian ini, sekilas akan mengkomparasikan penyajian lagu Ilir-ilir yang satu dengan penyajian dengan bentuk aransement yang lain. Dalam hal ini analisis data mungkin masih bersifat berkutat di permukaan atau belum terlalu mendalam. Titik berat permasalahan yang menjadi perhatian utama penulis adalah perbedaan-perbedaan dan kesamaan-kesamaan lagu Ilir-ilir yang telah diaransement dalam bentuk yang berbeda-beda. Studi komparasi ini secara spesifik lebih fokus pada komparasi teks syair lagu sekaligus  indikasi kontekstual dari setiap aransement di mana penulisan ini berdasarkan ‘opini’ penulis.

Ilir-ilir Versi Jamiyah Sholawat Sawunggaling
            Pada umumnya masyarakat Jawa sering menyebut ansambel musik seperti yang disajikan oleh kelompok Jamiyah Sholawat Sawunggaling dengan sebutan Sholawatan, Hadrah, atau Terbangan. Ansambel dari sholawat ini memiliki ciri khas khusus yang juga berlaku pada ansambel sholawat pada umumnya, yaitu dengan penggunaan instrument perkusi membrane; penggunaan instrument terbang dengan jumlah tertentu dan bedug. selain itu pada kelompok Jamiyah Sholawat Sawunggaling menggunakan instrument tambahan berupa gitar bass, key board, tamborin, dan gitar yang semuanya ini menjadi bumbu-bumbu untuk lebih memperindah penyajian musiknya.
            Dalam perkembangannya ansambel ini telah menjadi identitas agama islam atau yang sering disebut dengan musik Islam[1]. Lagu Ilir-ilir dalam bentuk sajian ansambel Sholawatan merupakan penyajian yang sesuai pada tempatnya, yaitu dalam ansambel musik yang memang hanya memiliki fungsi khusus sebagai musik Islam. Indikasinya dari sajian ini adalah melantunkan syair dakwah melalui sebuah pendekatan ansambel musik yang sudah menjadi identitas atau identik dengan Islam, jika diibaratkan busana telah menggunakan pakaian muslim sehingga secara psikologis rasa keislamannya lebih dapat dihayati.
            Teks syair lagu dalam kelompok Jamiyah Sholawat Sawunggaling adalah sebagai berikut:

Ilir-ilir

I.                        Lir ilir.. lir ilir..
tanduré wus sumilir
Tak ijo royo-royo..
Taksengguh kemantèn anyar 2x
Bocah angon bocah angon..
pènèkno blimbing kuwi ,
Lunyu-lunyu pènèkno
kanggo mbasuh dodotira 2x
Dodotira.. dodotira..
kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana jlumatana
kanggo séba méngko sore 2X
Mumpung padhang rembulané
Mumpung jembar kalangané
Yasuraka..surak hiyoo

II.        Allahummaghfirlana … Allahumaghfirlana ya ghofar ya ghofar…
Allahummaflan abwaabarromhah… Allahumatahlana abwabal barok…
Abwabanni’mah.. abwaabal quwwah… abwaaballafiah..
wabwaabal khoirot..wabwaabal khoirot… wabwaabal khoirot… Allahummaghfirlana.. ya ghofar… ya ghofar…. ya ghofar… ya ghofar….

III.      Teks Sholawat Badar (pada bagian kalimat tertentu dibawakan secara vokal koor – bersama-sama)

IV.       Kembali ke bagian I

Ilir-ilir Versi Dangdut Koplo; OM. Palapa
Bagi beberapa kalangan orang beranggapan bahwa jenis musik ini merupakan musik ‘kampungan’, tetapi realita yang nyata musik dangdut merupakan sebuah genre musik populer yang tergolong besar di Indonesia. Musik dangdut mudah bergaul, elastis terhadap jenis musik lain, sekaligus merakyat di kalangan masyarakat Indonesia. Melalui proses enkulturasi dengan jenis musik lain menjadikan dangdut dengan karakter-karakter yang khas, seperti rockdut, congdut, dan dangdut koplo. Dangdut koplo merupakan salah satu jenis musik dangdut yang berkembang dan sangat khas di Jawa Timur. Di luar Jawa Timur koplo juga sangat berkembang pesat, akan tetapi secara musikalitas berbagai dangdut koplo dari Jawa Timur lebih berkarakter dan cukup dikenal masyarakat luas daripada group-group dangdut di luar daerah tersebut.
Lagu Ilir-ilir yang diaransement dalam bentuk dangdut koplo memiliki sifat dan keunikan tersendiri di mana alunan musik dangdut ini memang sangat sesuai untuk bergoyang atau berjoget. Dengan disajikan dalam panggung pertunjukan terbuka di mana semua pemusik berdiri, vokalis yang melantunkan lagu Ilir-ilir juga melantunkan dengan berjoget. Hal ini dapat diamati pada ketukan birama 4/4 yang umumnya terdapat pada lagu dangdut, apalagi adanya instrument tabla – kendang, bangunan pola permainan ritme-ritme dari kedua tabung membran tersebut menjadi stimulus bunyi yang memang sangat pas untuk menari. Bergoyang atau berjoget ini merupakan persoalan estetik penyanyi dangdut, dengan kata lain tanpa bergoyang seorang penyanyi dangdut akan kurang menjiwai alunan dangdut koplo. Selain itu secara psikologis ungkapan ekspresi dari vokalis maupun pemusik merupakan ekspresi gembira atau senang, atau lagu Ilir-ilir diekspresikan dengan perasaan gembira.Indikasi dari penyajian lagu Ilir-ilir dalam bentuk dangdut koplo adalah pengunjung atau audient yang berdatangan untuk menyaksikan merupakan masa yang berjumlah besar sehingga dangdut koplo menjadi sarana medium ungkap untuk menyampaikan kepada masyarakat banyak.
Teks syair lagu dalam OM. Palapa adalah sebagai berikut:
I.          Lir ilir.. lir ilir..
tanduré wus sumilir
Tak ijo royo-royo..
Taksengguh temantèn anyar 2x
Bocah angon bocah angon..
pènèkno blimbing kuwi ,
Lunyu-lunyu pènèkno
kanggo mbasuh dodotira 2x
II.         Sholawat Badar
III.       Konco-konco sing sregep ngaji perkoro repot ojo turuti 2x
            Kapan maneh nek gak saiki
Tumpung durung ketekan pati 2x
IV.       Sholawat Badar
V.         Budhale nyowo gak atek kondo malaikat Izra’il terus sediyo 2x
            Gak pandang sugih gak pandang tuwo
Numpak penduso mosok wurungo 2x
VI.       Sholawat Badar
VII.     Duh gusti Allah nyuwun ngapuro sak kabehe dosa kawulo 2x
            Mboten wonten ingkang ngapuro
            Kejawi gusti kang moho kuoso 2x
VIII.     Sholawat Badar

Ilir-ilir Versi Keroncong; Emha & Group
            Dalam penyajian kelompok Emha dan group, sarana medium sajian musik menggunakan genre musik keroncong. Keroncong yang digunakan termasuk keroncong modern di mana masa keroncong modern (1960-2000) semua aturan baku (pakem) dalam musik keroncong tidak berlaku, karena mengikuti aturan baku (pakem) yang sudah ada dalam musik pop yang berlaku secara universal, misalnya tangga nada minor, moda pentatonis Jawa/Cina, rangkaian harmoni diatonik dan kromatik, akord disonan, sifat politonal atau atonal (pada campursari), tidak megenal lagi pakem bentuk keroncong asli atau stambul, ada irama nuansa dangdut (congdut), mulai tahun 1998 musik rap mulai masuk (Bondan Prakoso), dlsb (wikipedia).
Permainan modifikasi dari tiap-tiap instrument pada aransement lagu Ilir-ilr Kyai Haji Emha Ainunnadjib mengarah pada langgam jawa, di mana terdapat pola imbal pada ukulele, modifikasi permainan kendang pada cello, penggunaan irama rangkep, dan lain-lain. Bagian awal dari penyajian lagu Ilir-ilir pada kelompok ini memang tidak langsung masuk ke keroncong, pertamanya adalah background string dari key board, root dari gitar bass, serta permainan instrument melodis kemudian masuk ke bagian aransement keroncong. Berdasarkan pandangan subyektif penulis, penulis lebih dapat mengahayati aransement lagu Ilir-ilir dalam bentuk keroncong Kyai Emha Ini.
            Teks syair lagu dalam Emha & Group adalah sebagai berikut:
I.          Lir ilir.. lir ilir..
tanduré wus sumilir
Tak ijo royo-royo..
Taksengguh kemantèn anyar 2x
Bocah angon bocah angon..
pènèkno blimbing kuwi ,
Lunyu-lunyu pènèkno
kanggo mbasuh dodotira 2x
Dodotira.. dodotira..
kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana jlumatana
kanggo séba méngko soré 2X
Mumpung padhang rembulané
Mumpung jembar kalangané
Yasuraka..surak hiyoo
II.         Sholawat Badar
III.       Illahisya limil ‘umah
Minalafwatiwalni’mah
Waminhamin waminhummah
BiahlillbadriyaAllah 2X
IV.       Kembali ke bagian I

Dari segi bahasa yang digunakan teks lagu Ilir-ilir tidak menggunakan bahasa apa adanya – fulgar - yang dapat langsung dipahami begitu saja oleh pendengarnya, melainkan merupakan ungkapan ‘perandaian’ berupa kata-kata ‘kiasan’ yang sekaligus mengandung makna simbolik di setiap kalimat teks syairnya. Dari ketiga versi aransement lagu Ilir-ilir di atas, ketiganya memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan. Kesamaannya terletak pada teks syair baku dari lagu Ilir-ilir serta penggunaan tangga nada minor. Semuanya mempunyai perbedaan masing-masing, teks syair lagu telah ditambahi syair-syair lagu lain yang juga permainan melodinya berbeda satu sama lain pada tiap versi; aransement telah melalui proses eksplorasi struktur musik dengan sedemikian rupa bentuknya.
Adanya medium ungkap dengan berbagai aransement tersebut, tentunya tidak dapat terlepas dari tujuan dan maksud dari lagu tersebut disajikan yaitu audient atau penonton. Musik merupakan bentuk seni, di mana seni merupakan salah satu unsur kebudayaan. Musik juga merupakan suatu sistem perilaku kebudayaan.



[1] Pada dasarnya musik tidak memiliki agama, yang membentuk identitas ini terjadi karena masyarakat pelaku musik ini sekaligus fungsi dari ansambel ini sering kali digunakan oleh masyarakat yang beragama Islam sehingga menyebabkan persepsi atau pemahaman musik islam.