Menjamurnya Campur Sari Ringkes
Oleh
Kiswanto
Tahun-tahun
terakhir ini, masyarakat Jawa telah disuguhkan hadirnya orkes musik baru dengan
penggunaan alat musik yang cukup ringkas, musik ini sering disebut dengan nama Campur Sari Ringkes. Seperti di
Karanganyar, Solo, Jawa Tengah, begitu banyak kelompok CS Ringkes yang didapati di berbagai tempat, seperti Eko’s, Sangkuriang, Sangka Lingga, Suko
Laras, Sekar Buana, Gazebo, Srikandi, Gema Nada, Joko Kancil, dan lain-lain.
Nama-nama ini sering tampil dalam hajatan-hajatan warga seperti pernikahan,
khitanan, tasyakuran, maupun hanya untuk hiburan semata.
Dengan
mengkombinasi beberapa alat musik; vokal, key
board, kendhang Jawa, kendhang dhangdut, balungan, gitar, ataupun alat musik yang lainnya, CS Ringkes mampu membawakan aneka macam
lagu dari berbagai macam genre musik
yang ada, seperti karawitan, dhangdut, keroncong, dan pop. Ditambah minimnya jumlah personil, maka biaya yang
dibutuhkan untuk menghadirkan orkes ini juga tidak terlalu besar. Cukup satu
sampai dua juta saja, tak sebanding Karawitan dengan puluhan personil beserta
alatnya.
Salah
satu orkes yang cukup terkenal adalah Sangkuriang,
video dan audio dokumentasi pementasan-pementasannya telah tersebar ke
masyarakat luas. Senggak’an
‘woyo-woyo’nya yang sering ditiru orkes lain, ataupun terdengar langsung dari
masyarakat umum, telah menjadi bukti bahwa CS
Ringkes telah memasyarakat. Bukan hanya itu, Eko’s Electone, CS Ringkes asal
Waduk Lalung Karanganyar ini dalam setiap bulan menerima job pentas “rata-rata hingga 15 kali pentas”, ungkap
Eko sang key boardis. Belum lagi kelompok yang lain, hal ini menunjukkan bahwa
kehadiran CS Ringkes begitu sangat
diminati masyarakat.
Dari berbagai alat musik yang digunakan, hanya
satu alat musik yang menjadikan orkes ini ‘minimalis’, yakni Electone. Electronic Tone atau
elektronik suara merupakan key board
dengan spesifikasi tertentu yang mampu menghasilkan berbagai macam suara maupun
berbagai macam genre musik. Sebenarnya,
adanya alat-alat musik lain hanya difungsikan agar musik yang disajikan
menyerupai jenis musik aslinya. Contohnya penggunaan kendhang, secara tone colour hasil suara Electone ini
sangat berbeda jauh, begitu juga dengan gitar. Adapun yang difungsikan sebagai
pelengkap ataupun ‘pemanis’, seperti balungan.
Fenomena
Electone ini merupakan proses
modernisasi dalam musik. Dengan teknologinya yang canggih, menjadi suatu menu
pilihan yang lebih efektif dan efisien. “modernisasi merupakan proses yang
bertahap, yaitu mulai dari tahap tradisional menuju masyarakat modern. modernisasi merupakan proses
progresif. Dalam jangka panjang modernisasi meningkatkan kesejahteraan manusia,
baik kultural maupun material-material”(Samuel P.H). Seorang musisi cafe Solo,
Indra Man menuturkan; “CS Ringkes ini bagaikan Mie Instant, dengan
harga terjangkau, cepat saji, juga mudah untuk didapatkan”. Tidak dapat dielakkan, CS Ringkes memang telah ‘menjamur’ di dunia pertunjukan dan masyarakat.
Banyak yang
diuntungkan dari kehadiran orkes simpel ini. Terutama warga masyarakat yang
sebagian besar termasuk golongan menengah ke bawah. “Hampir 80% atau lebih penduduk Indonesia tinggal di daerah
pedesaan yang bekerja pada sektor pertanian sebagai mata pencarian pokok”
(Hadriana, 2007). Tidak
perlu biaya mahal, alat dan ruang yang lebih, keinginan untuk memeriahkan hajatan
jadi mudah dilaksanakan, terlebih yang terhibur juga masyarakat banyak. Bagaikan
‘simbiosis mutualisme’, keduanya saling diuntungkan.
Tak hanya
masyarakat, beberapa musisi tradisi dan populer pun juga ikut diuntungkan.
Dengan banyaknya job-job tiap orkes, pengendhang, pembalung, dan gitaris pun
secara materi juga akan menikmati hasilnya. Seperti yang dialami Riyanto, selain
aktif sebagai gitaris dhangdut dan campur sari, seratus ribu rata-rata
diraupnya sekali ikut Electone. Menurutnya; “sebulan
bisa tiga kali mentas Electone”, cukup lumayan, belum pemasukan yang lain.
Seperti Jamur, tumbuhan tak berklorofil yang
hidupnya secara parasit menumpang pada biologis lain. Begitupun Electone, eksis
bersandarkan karya-karya musik genre asliya, sekaligus memformatnya dalam skala
kecil. Di
satu sisi proses modernisasi seperti ini memang menjadi arus kebutuhan yang
tidak dapat dihindari. Namun, “dalam
perubahan ini sering terjadi disorganisasi, yaitu memudarkan atau melemahkan
norma-norma dan nilai-nilai lama dalam masyarakat” (Indriyawati, 2009).
Jika Electone
terus merajalela, akan semakin melemahkan keberadaan genre musik aslinya. Banyak musisi yang akan kehilangan peranannya,
terutama Karawitan yang gendhing-gendhingnya sering disajikan sebagai menu
utama dalam CS Ringkes. Seniman telah diresahkan akan hal ini, seperti Aji
Wibowo; “Karawitan semakin tersisihkan
akibat elektronik menguasai tenaga manusia”. Berbagai musisi dan alat musik yang dimainkannya
telah dikuasai satu alat elektronik.
Kemunculan
Campur Sari saja sudah dianggap beberapa tokoh Karawitan (Rabimin dan Rustopo)
telah merusak tradisi. Padahal, orkes ini hanya merubah sebagian alat musik
asli dengan alat musik yang baru. Apalagi Campur
Sari Ringkes yang demikian, semakin ‘lebih’ merusak tentunya. Karawitan
sebagai musik tradisi Jawa yang kaya akan nilai-nilai, seperti kebersamaan,
etika, sejarah, pendidikan, maupun komersial mulai luntur akan menggeliatnya CS Ringkes. “Banyak nilai-nilai yang
tergeser akibat munculnya orkes Electone”, ujar Ari Prasetyo, musisi muda
Karawitan yang telah go Internasional.
Pak, campursari rinGkes meniko ngagem style menopo midi?
BalasHapusPak, campursari rinGkes meniko ngagem style menopo midi?
BalasHapusSangkuriang almtnya mna ya...?
BalasHapusTrus tarifny b
rp