Kamis, 13 Desember 2012

Menjamurnya Campur Sari Ringkes


Menjamurnya Campur Sari Ringkes
Oleh
Kiswanto

Tahun-tahun terakhir ini, masyarakat Jawa telah disuguhkan hadirnya orkes musik baru dengan penggunaan alat musik yang cukup ringkas, musik ini sering disebut dengan nama Campur Sari Ringkes. Seperti di Karanganyar, Solo, Jawa Tengah, begitu banyak kelompok CS Ringkes yang didapati di berbagai tempat, seperti Eko’s, Sangkuriang, Sangka Lingga, Suko Laras, Sekar Buana, Gazebo, Srikandi, Gema Nada, Joko Kancil, dan lain-lain. Nama-nama ini sering tampil dalam hajatan-hajatan warga seperti pernikahan, khitanan, tasyakuran, maupun hanya untuk hiburan semata.
Dengan mengkombinasi beberapa alat musik; vokal, key board, kendhang Jawa, kendhang dhangdut, balungan, gitar, ataupun alat musik yang lainnya, CS Ringkes mampu membawakan aneka macam lagu dari berbagai macam genre musik yang ada, seperti karawitan, dhangdut, keroncong, dan pop.  Ditambah  minimnya jumlah personil, maka biaya yang dibutuhkan untuk menghadirkan orkes ini juga tidak terlalu besar. Cukup satu sampai dua juta saja, tak sebanding Karawitan dengan puluhan personil beserta alatnya.
Salah satu orkes yang cukup terkenal adalah Sangkuriang, video dan audio dokumentasi pementasan-pementasannya telah tersebar ke masyarakat luas. Senggak’an ‘woyo-woyo’nya yang sering ditiru orkes lain, ataupun terdengar langsung dari masyarakat umum, telah menjadi bukti bahwa CS Ringkes telah memasyarakat. Bukan hanya itu, Eko’s Electone, CS Ringkes asal Waduk Lalung Karanganyar ini dalam setiap bulan menerima job pentas “rata-rata hingga 15 kali pentas”, ungkap Eko sang key boardis. Belum lagi kelompok yang lain, hal ini menunjukkan bahwa kehadiran CS Ringkes begitu sangat diminati masyarakat.
 Dari berbagai alat musik yang digunakan, hanya satu alat musik yang menjadikan orkes ini ‘minimalis’, yakni Electone. Electronic Tone atau elektronik suara merupakan key board dengan spesifikasi tertentu yang mampu menghasilkan berbagai macam suara maupun berbagai macam genre musik. Sebenarnya, adanya alat-alat musik lain hanya difungsikan agar musik yang disajikan menyerupai jenis musik aslinya. Contohnya penggunaan kendhang, secara tone colour hasil suara Electone ini sangat berbeda jauh, begitu juga dengan gitar. Adapun yang difungsikan sebagai pelengkap ataupun ‘pemanis’, seperti balungan.    
Fenomena Electone ini merupakan proses modernisasi dalam musik. Dengan teknologinya yang canggih, menjadi suatu menu pilihan yang lebih efektif dan efisien. “modernisasi merupakan proses yang bertahap, yaitu mulai dari tahap tradisional menuju masyarakat modern. modernisasi merupakan proses progresif. Dalam jangka panjang modernisasi meningkatkan kesejahteraan manusia, baik kultural maupun material-material”(Samuel P.H). Seorang musisi cafe Solo, Indra Man menuturkan;  “CS Ringkes ini bagaikan Mie Instant, dengan harga terjangkau, cepat saji, juga mudah untuk didapatkan”.  Tidak dapat dielakkan, CS Ringkes memang telah ‘menjamur’ di dunia pertunjukan dan masyarakat.
Banyak yang diuntungkan dari kehadiran orkes simpel ini. Terutama warga masyarakat yang sebagian besar termasuk golongan menengah ke bawah. “Hampir 80% atau lebih penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan yang bekerja pada sektor pertanian sebagai mata pencarian pokok” (Hadriana, 2007). Tidak perlu biaya mahal, alat dan ruang yang lebih, keinginan untuk memeriahkan hajatan jadi mudah dilaksanakan, terlebih yang terhibur juga masyarakat banyak. Bagaikan ‘simbiosis mutualisme’, keduanya saling diuntungkan.
Tak hanya masyarakat, beberapa musisi tradisi dan populer pun juga ikut diuntungkan. Dengan banyaknya job-job tiap orkes, pengendhang, pembalung, dan gitaris pun secara materi juga akan menikmati hasilnya. Seperti yang dialami Riyanto, selain aktif sebagai gitaris dhangdut dan campur sari, seratus ribu rata-rata diraupnya sekali ikut Electone. Menurutnya; “sebulan bisa tiga kali mentas Electone”, cukup lumayan, belum pemasukan yang lain.
Seperti Jamur, tumbuhan tak berklorofil yang hidupnya secara parasit menumpang pada biologis lain. Begitupun Electone, eksis bersandarkan karya-karya musik genre asliya, sekaligus memformatnya dalam skala kecil. Di satu sisi proses modernisasi seperti ini memang menjadi arus kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Namun, “dalam perubahan ini sering terjadi disorganisasi, yaitu memudarkan atau melemahkan norma-norma dan nilai-nilai lama dalam masyarakat” (Indriyawati, 2009).
Jika Electone terus merajalela, akan semakin melemahkan keberadaan genre musik aslinya. Banyak musisi yang akan kehilangan peranannya, terutama Karawitan yang gendhing-gendhingnya sering disajikan sebagai menu utama dalam CS Ringkes. Seniman  telah diresahkan akan hal ini, seperti Aji Wibowo; “Karawitan semakin tersisihkan akibat elektronik menguasai tenaga manusia”.  Berbagai musisi dan alat musik yang dimainkannya telah dikuasai satu alat elektronik.
Kemunculan Campur Sari saja sudah dianggap beberapa tokoh Karawitan (Rabimin dan Rustopo) telah merusak tradisi. Padahal, orkes ini hanya merubah sebagian alat musik asli dengan alat musik yang baru. Apalagi Campur Sari Ringkes yang demikian, semakin ‘lebih’ merusak tentunya. Karawitan sebagai musik tradisi Jawa yang kaya akan nilai-nilai, seperti kebersamaan, etika, sejarah, pendidikan, maupun komersial mulai luntur akan menggeliatnya CS Ringkes. “Banyak nilai-nilai yang tergeser akibat munculnya orkes Electone”, ujar Ari Prasetyo, musisi muda Karawitan yang telah go Internasional. 

3 komentar:

  1. Pak, campursari rinGkes meniko ngagem style menopo midi?

    BalasHapus
  2. Pak, campursari rinGkes meniko ngagem style menopo midi?

    BalasHapus
  3. Sangkuriang almtnya mna ya...?
    Trus tarifny b
    rp

    BalasHapus