Rabu, 26 September 2018

TEORI SEMIOTIKA PEIRCE

TEORI SEMIOTIKA PEIRCE
Oleh
Kiswanto

Peirce (1940: 99-100) menjelaskan jika tanda dapat berfungsi sebagai tanda karena berhubungan dengan tiga unsur sebagai ground-nya, yaitu sebuah unit hubungan triadik antara representamen, obyek, dan interpretant. Representamen merupakan unsur pertama dari tanda, yaitu wujud tanda yang dapat ditangkap secara inderawi. Tanda disebut sebagai representemen karena wujudnya memiliki sifat representatif tentang suatu hal yang disebut sebagai obyek, yakni unsur kedua yang diacu atau ditunjuk tanda. Sementara itu, tanda – representamen - dapat merepresentasikan obyek karena dimengerti oleh interpretant. Interpretant merupakan unsur ketiga dari tanda, yaitu orang atau subyek yang menangkap atau menginterpretasikan wujud tanda dan obyek yang direpresentasikannya di dalam kesadaran atau pikiran – idea. Hubungan triadik antara ketiga unsur tersebut dapat digambarkan melalui model segitiga berikut ini.

 Model segitiga hubungan triadik dari pemikiran Peirce
(Sumber: Chandler, 2007: 30 & 32)

Peirce kemudian mengklasifikasikan tanda menjadi tiga trikotomi. Pertama berdasarkan sifat ground-nya yang terdiri atas qualisigns, sinsigns, dan legisigns (1940: 101). Aart van Zoest – yang mengingterpretasikan pemikiran Peirce, menjelaskan bahwa qualisign merupakan “...tanda berdasarkan suatu sifat. Contohnya adalah sifat ‘merah’... Merah merupakan suatu qualisign,... Agar benar-benar berfungsi sebagai tanda, qualisign itu harus memperoleh bentuk....” (1993: 19). Sifat yang ditunjukkan dari warna merah akan sangat bergantung pada kualitas wujud dan pemakaian dalam konteksnya. Hal ini dapat dicontohkan dalam beberapa hal, misalnya warna merah dalam bendera dapat berarti keberanian – seperti bendera negara – bahkan kematian – dalam konteks orang meninggal dunia, ataupun dalam lampu lintas diartikan sebagai petunjuk untuk berhenti karena artinya bahaya.
Sinsign menurut Aart van Zoest merupakan “...tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat merupakan sinsign. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan, atau kegembiraan...” (1993: 19) Penafsiran terhadap tanda-tanda individual akan sangat bergantung pada tingkat pengalaman interpretan dalam mengenali tanda. Penafsiran atas tanda itu juga tergantung pada konteks situasi dan kondisi yang terjadi, misalnya ketika interpretan dalam kondisi yang serius terkadang akan menangkap ungkapan tertawa dari seseorang sebagai tanda bercanda, tidak serius, bahkan ejekan – padahal belum tentu.
Legisign menurut Aart van Zoest merupakan “...tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode” (1993: 20). Ini menunjukkan bahwa suatu tanda berdasarkan sifat ground-nya dapat berfungsi secara ganda. Lampu lalu lintas merupakan qualisign karena bentuk dan tiga warna lampu – merah, kuning, dan hijau - yang  diatur penyalaanya memiliki sifat dan fungsinya masing-masing sebagai penunjuk jalan, namun lampu lalu lintas juga menjadi legisign karena merupakan peraturan yang harus ditaati secara umum. Warna merah dan putih dalam bendera Indonesia mengandung sifat berani dan suci sebagai qualisign, namun bendera ini juga menjadi legisign karena merupakan konvensi lambang negara yang harus dipahami, dihormati, dan disakralkan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Klasifikasi kedua dari pembagian trikotomi tanda oleh Peirce adalah berdasarkan sifat hubungan tanda dengan obyeknya, yakni terdiri atas ikon, simbol, dan indeks (Peirce, 1940: 102-103). Ikon merupakan tanda yang memiliki karakter kemiripan atau keserupaan dengan obyek yang diacu, diwakilkan, atau direpresentasikannya (Peirce, 1940: 102 & 104; Aart van Zoest, 1993: 26), misalnya maskot burung merepresentasikan burung, topeng harimau merepresentasikan wajah harimau, atau gerakan anak kecil seperti kancil merepresentasikan gerakan kancil yang sungguhan. Aart van Zoest (1993: 26) menyebut ikon sebabagai tanda yang sifatnya menggambarkan.
Simbol merupakan tanda yang memiliki karakter sebagai perlambangan atau abstraksi atas suatu gagasan atau pengertian tertentu sebagai obyeknya dan tidak mirip, namun hubungan antara bentuk simbol dengan obyek yang direpresentasikannya telah menjadi konvensi atau aturan yang berlaku umum (Peirce, 1940: 102-103). Aart van Zoest menyebut simbol sebagai tanda yang terbentuk karena ada perjanjian atau kesepakatan (1993: 27). Warna merah dalam bendera Indonesia merupakan simbol, karena sifat berani yang direpresentasikan tidak memiliki kemiripan dengan warna merah namun hubungan antara simbol dengan obyeknya telah menjadi konvensi yang dipahami secara umum. Mengangguk merupakan simbol karena tidak mirip dengan pengertian ‘iya’ atau ‘bersedia’ yang ditunjukannya, namun hubungan antara keduanya telah menjadi konvensi yang disepakati bersama dalam masyarakat. Jadi, sifat simbol berdasarkan ground-nya adalah legisign.  
Terakhir adalah indeks, yaitu tanda yang muncul karena ada pengaruh hubungan kausalitas dengan hal-hal lain sebagai obyeknya (Peirce, 1940: 102), misalnya ada asap berarti ada api, mendung berarti akan turun hujan, gemuk berarti kebanyakan makan, dan lain-lain. Aart van Zoest (1993: 27) menyebut indeks sebagai tanda penunjuk yang bersandar pada kedekatan eksistensial dengan obyeknya, yakni kedekatan yang bersifat berdampingan ataupun bersebelahan dengan obyeknya.
Klasifikasi ketiga dari pembagian trikotomi tanda oleh Peirce  adalah berdasarkan sifat hubungan antara tanda dan interpretan. Pertama, hubungan tanda dengan obyeknya bisa dinterpretasi oleh interpretan sebagai kemungkinan. Peirce menyebutnya dengan istilah Rheme. Kedua, hubungan tanda dengan obyeknya bisa diinterpretasi sebagai suatu kebenaran, keberadaan yang aktual, atau fakta oleh interpretannya. Peirce menyebutnya dengan istilah Dicent Sign. Ketiga, hubungan tanda dengan obyeknya bisa diinterpretasi sebagai sebuah dasar-dasar peraturan atau hukum oleh interpretantnya. Peirce menyebutnya dengan istilah Argument (Peirce, 1940: 103-104).


DAFTAR PUSTAKA

Aart van Zoest. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Chandler, Daniel. 2007. Semiotics: the basics. Newyork: Routledge Taylor & Francis Group.

Peirce, Charles Sanders. 1940. “Logic as Semiotic : the Theory of Signs” dalam Philosophical Writings of Peirce. New York: Dover Publications, inc., hal. 98-119.