TEORI SEMIOTIKA PEIRCE
Oleh
Kiswanto
Peirce (1940: 99-100) menjelaskan jika tanda dapat berfungsi sebagai tanda karena berhubungan dengan tiga unsur
sebagai ground-nya, yaitu sebuah unit
hubungan triadik antara representamen,
obyek, dan interpretant. Representamen merupakan unsur pertama
dari tanda, yaitu wujud tanda yang dapat ditangkap secara inderawi. Tanda
disebut sebagai representemen karena wujudnya memiliki sifat representatif
tentang suatu hal yang disebut sebagai obyek, yakni unsur kedua yang diacu atau
ditunjuk tanda. Sementara itu, tanda – representamen
- dapat merepresentasikan obyek karena dimengerti oleh interpretant. Interpretant
merupakan unsur ketiga dari tanda, yaitu orang atau subyek yang menangkap atau
menginterpretasikan wujud tanda dan obyek yang direpresentasikannya di dalam
kesadaran atau pikiran – idea. Hubungan triadik antara ketiga unsur tersebut dapat digambarkan
melalui model segitiga berikut ini.
Model segitiga hubungan
triadik dari pemikiran Peirce
(Sumber:
Chandler, 2007: 30 & 32)
Peirce kemudian mengklasifikasikan
tanda menjadi tiga trikotomi. Pertama berdasarkan sifat ground-nya yang terdiri atas qualisigns,
sinsigns, dan legisigns (1940: 101).
Aart van Zoest – yang mengingterpretasikan pemikiran Peirce, menjelaskan bahwa qualisign merupakan “...tanda berdasarkan
suatu sifat. Contohnya adalah sifat ‘merah’... Merah merupakan suatu
qualisign,... Agar benar-benar berfungsi sebagai tanda, qualisign itu harus
memperoleh bentuk....” (1993: 19). Sifat yang ditunjukkan dari warna merah akan
sangat bergantung pada kualitas wujud dan pemakaian dalam konteksnya. Hal ini
dapat dicontohkan dalam beberapa hal, misalnya warna merah dalam bendera dapat
berarti keberanian – seperti bendera negara – bahkan kematian – dalam konteks
orang meninggal dunia, ataupun dalam lampu lintas diartikan sebagai petunjuk
untuk berhenti karena artinya bahaya.
Sinsign menurut Aart
van Zoest merupakan “...tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua
pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat merupakan sinsign. Sebuah
jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan, atau kegembiraan...” (1993: 19) Penafsiran
terhadap tanda-tanda individual akan sangat bergantung pada tingkat pengalaman
interpretan dalam mengenali tanda. Penafsiran atas tanda itu juga tergantung
pada konteks situasi dan kondisi yang terjadi, misalnya ketika interpretan
dalam kondisi yang serius terkadang akan menangkap ungkapan tertawa dari
seseorang sebagai tanda bercanda, tidak serius, bahkan ejekan – padahal belum
tentu.
Legisign menurut Aart
van Zoest merupakan “...tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum,
sebuah konvensi, sebuah kode” (1993: 20). Ini menunjukkan bahwa suatu tanda
berdasarkan sifat ground-nya dapat
berfungsi secara ganda. Lampu lalu lintas merupakan qualisign karena bentuk dan
tiga warna lampu – merah, kuning, dan hijau - yang diatur penyalaanya memiliki sifat dan
fungsinya masing-masing sebagai penunjuk jalan, namun lampu lalu lintas juga
menjadi legisign karena merupakan
peraturan yang harus ditaati secara umum. Warna merah dan putih dalam bendera
Indonesia mengandung sifat berani dan suci sebagai qualisign, namun bendera ini
juga menjadi legisign karena merupakan
konvensi lambang negara yang harus dipahami, dihormati, dan disakralkan oleh
seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Klasifikasi kedua
dari pembagian trikotomi tanda oleh Peirce adalah berdasarkan sifat hubungan
tanda dengan obyeknya, yakni terdiri atas ikon, simbol, dan indeks (Peirce,
1940: 102-103). Ikon merupakan tanda yang memiliki karakter kemiripan atau
keserupaan dengan obyek yang diacu, diwakilkan, atau direpresentasikannya (Peirce,
1940: 102 & 104; Aart van Zoest, 1993: 26), misalnya maskot burung
merepresentasikan burung, topeng harimau merepresentasikan wajah harimau, atau gerakan
anak kecil seperti kancil merepresentasikan gerakan kancil yang sungguhan. Aart
van Zoest (1993: 26) menyebut ikon sebabagai tanda yang sifatnya menggambarkan.
Simbol merupakan
tanda yang memiliki karakter sebagai perlambangan atau abstraksi atas suatu
gagasan atau pengertian tertentu sebagai obyeknya dan tidak mirip, namun hubungan
antara bentuk simbol dengan obyek yang direpresentasikannya telah menjadi
konvensi atau aturan yang berlaku umum (Peirce, 1940: 102-103). Aart van Zoest
menyebut simbol sebagai tanda yang terbentuk karena ada perjanjian atau
kesepakatan (1993: 27). Warna merah dalam bendera Indonesia merupakan simbol,
karena sifat berani yang direpresentasikan tidak memiliki kemiripan dengan
warna merah namun hubungan antara simbol dengan obyeknya telah menjadi konvensi
yang dipahami secara umum. Mengangguk merupakan simbol karena tidak mirip
dengan pengertian ‘iya’ atau ‘bersedia’ yang ditunjukannya, namun hubungan
antara keduanya telah menjadi konvensi yang disepakati bersama dalam
masyarakat. Jadi, sifat simbol berdasarkan ground-nya
adalah legisign.
Terakhir adalah
indeks, yaitu tanda yang muncul karena ada pengaruh hubungan kausalitas dengan
hal-hal lain sebagai obyeknya (Peirce, 1940: 102), misalnya ada asap berarti ada
api, mendung berarti akan turun hujan, gemuk berarti kebanyakan makan, dan
lain-lain. Aart van Zoest (1993: 27) menyebut indeks sebagai tanda penunjuk yang
bersandar pada kedekatan eksistensial dengan obyeknya, yakni kedekatan yang
bersifat berdampingan ataupun bersebelahan dengan obyeknya.
Klasifikasi ketiga
dari pembagian trikotomi tanda oleh Peirce adalah berdasarkan sifat hubungan antara tanda
dan interpretan. Pertama, hubungan tanda dengan obyeknya bisa dinterpretasi
oleh interpretan sebagai kemungkinan. Peirce menyebutnya dengan istilah Rheme. Kedua, hubungan tanda dengan
obyeknya bisa diinterpretasi sebagai suatu kebenaran, keberadaan yang aktual,
atau fakta oleh interpretannya. Peirce menyebutnya dengan istilah Dicent Sign. Ketiga, hubungan tanda
dengan obyeknya bisa diinterpretasi sebagai sebuah dasar-dasar peraturan atau
hukum oleh interpretantnya. Peirce menyebutnya dengan istilah Argument (Peirce, 1940: 103-104).
DAFTAR PUSTAKA
Aart van Zoest. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan
Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Chandler, Daniel. 2007. Semiotics:
the basics. Newyork: Routledge Taylor &
Francis Group.
Peirce, Charles
Sanders. 1940. “Logic as Semiotic : the Theory of Signs” dalam Philosophical
Writings of Peirce. New York: Dover Publications, inc., hal. 98-119.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar