Sabtu, 26 November 2011
Senin, 21 November 2011
NILAI ESTETIK KERINCING DALAM TARI TOPENG IRENG
NILAI
ESTETIK KERINCING DALAM TARI TOPENG IRENG
Oleh
Kiswanto*
Pendahuluan
Tari
‘Topeng Ireng’ merupakan salah satu jenis tarian rakyat yang berasal dan
berkembang di kabupaten Magelang Jawa
Tengah. Dalam perkembangannya sampai saat ini, kesenian ini telah tersebar di
daerah lain di sekitar Magelang seperti kabupaten Temanggung dan Boyolali.
Kostum dan properti yang digunakan penari cukup unik, salah satunya terdapat
hiasan atau mahkota pada kepala penari yang terbuat dari bulu-bulu burung yang
mirip dengan mahkota kepala yang dipakai suku Hindian di Amerika.
Gambar
1. Penari dengan kostum dan properti.[1]
Masyarakat
sekitar sering juga menyebut kesenian ini dengan istilah Dayakan. Dayakan yang dimaksud bukanlah menunjuk pada suku Dayak
yang berada di Kalimantan, tetapi lebih pada anggapan masyarakat memahami tata
busana dan artistik penari yang mengindikasi pada manusia hutan – rimba.
“Dayakan bisa
diperkirakan merupakan pengembangan dari kesenian kobra siswa. Dilihat dari
kemiripan ubo rambe gamelan utama yang digunakan, seperti bedug/drum, dan bende
nampak sekali kesamaannya. Ditinjau dari lagu pengiring yang dinyanyikanpun ada
kemiripannya dimana banyak diperdengarkan lagu-lagu bertemakan dakwah, di
samping lagu-lagu nasional, mocopatan, dan campur sari modern.”[2]
“Hanya saja
memang terdapat sedikit modifikasi dalam hal formasi dan tata cara berbaris
yang lebih dinamis dan tanpa pakem yang kaku seperti dalam kobra. Penambahan
pengiring seperti organ, siter atau kecapi semakin menambah dinamisasi seni
dayakan. Namun satu yang pasti dapat dilihat secara kasat mata, ya di perbedaan
kostum itu tadi.”[3]
Salah satu properti
yang cukup berperan dalam struktur penyajian tarian ini adalah kerincing yang
dipakai penari. Berdasarkan suara yang dihasilkan sangat berpengaruh terhadap
psikologi pemain, di mana pemain
merasakan kepuasan, berpengaruh keseriusan ekspresi gerak – emosional, serta
suasana meriah atau rame dalam pertunjukan.
Berdasarkan bentuk
fisik – artistik – pada kerincing, tanpa ada aturan yang baku, dalam faktanya
telah terdapat standarisasi yang dianut para pelaku kesenian yaitu kerincing
yang dipakai memenuhi dari pergelangan kaki hingga lutut penari. Kerincing ini
dirangkai dari 70 sampai ratusan biji kerincing dengan menggunakan alas spon.
Mengamati properti
kerincing yang demikian hingga dapat dinikmati dan dirasakan para penari, maka
dalam benda tersebut merupakan unsur yang mengandung keindahan. “…keindahan
adalah suatu kumpulan hubungan yang selaras dalam suatu benda dan di antara
benda itu dengan si pengamat”[4].
Karena definisi keindahan dari para filsuf dan
anggapan banyak orang yang berbeda-beda, hal ini merupakan problem semantik
modern yang tidak ada satu jawaban yang benar. Untuk menelaah keindahan
tersebut lebih tepatnya adalah menggunakan salah satu cabang filsafat yang
memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni,
yaitu estetika. Di dalamnya menyangkut bahasan ilmiah berkaitan dengan karya
seni, sehingga merupakan lingkup bahasan ilmiah. Dalam estetik modern, orang
lebih banyak berbicara tentang seni dan pengalaman estetik, karena ini bukan
pengertian abstrak melainkan gejala yang konkrit dan dapat ditelaah dengan pengamatan
empiris serta penguraian yang sistematis.[5] Dengan
demikian, dalam pembahasan ini penulis akan menelaah nilai-nilai[6]
estetis kerincing dalam tari Topeng Ireng.
Deskripsi
Obyek
Kerincing merupakan
suatu properti yang umumnya dipakai pada pergelangan kaki penari dalam
tari-tarian. Properti ini berbentuk bulat bola dengan memiliki rongga di
dalamnya yang berisi biji logam kecil berukuran ± 0.5 inchi, pada bagian sisi
bawahnya terdapat lubang kecil memanjang yang berfungsi sebagai sirkulasi udara
untuk menghasilkan bunyi yang lebih nyaring. Ukuran diameter kerincing yang
biasa dikenakan dalam tarian rakyat biasanya sekitar 2 - 3 cm. Pada sisi atas
kerincing terdapat lingkaran kecil yang digunakan untuk memasang kerincing pada
tali. Dalam pemakaiannya pada tarian rakyat, biasanya jumlahnya lebih dari satu
kerincing yang di susun dengan tali tersebut. Selain itu, biasanya kerincing
disusun rapi pada kain atau spon yang berfungsi untuk menghindari rasa sakit
pada kulit akibat lecet dari benturan logam kerincing (lihat gambar 1).
Gambar 2. Bentuk
kerincing dan ukurannya yang berbeda-beda.
Kerincing merupakan
properti yang menghasilkan bunyi-bunyian, jika diklasifikasikan berdasarkan bagaimana
properti ini menghasilkan bunyi, kerincing termasuk dalam kategori idiophone dan ditinjau dari bahan
pembuatannya, kerincing terbuat dari bahan baku logam yang berupa kuningan.
Bunyi kerincing ini dihasilkan karena adanya benturan dengan benda lain. Ketika
benturan ini terjadi, biji logam di dalam kerincing juga akan mengalami
benturan serta pantulan di dalam rongga, sehingga dalam proses ini menghasilkan
getaran-getaran yang menimbulkan bunyi.
Karena kekuatan tekanan benturan, pantulan biji logam, serta frekuensi
semua kerincing yang berbeda-beda, maka waktu getaran yang dihasilkanpun tidak
beraturan dalam menghasilkan bunyi; jelas bersama-sama saat terjadi tekanan
atau benturan, dan bunyi ekor akibat getaran-getaran bunyi yang berbeda-beda
setelah terjadi tekanan dan benturan. Sehingga, ketika terjadi tekanan dan
benturan berulang-kali, maka tiap-tiap kerincing waktu getaran menghasilkan
bunyi berbeda antara satu dengan yang lain dengan istilah lain kemrincing.
Pembahasan
“Nilai
estetis pada umumnya kini diartikan sebagai kemampuan dari suatu benda untuk
menimbulkan suatu pengalaman estetis.”[7] Pengalaman
estetika dari seseorang merupakan persoalan psikologis, di mana seseorang tidak
lagi hanya membahas sifat-sifat yang merupakan kualita benda estetik, melainkan
juga menelaah kualitas abstrak dari benda estetis, terutama usaha menguraikan
dan menjelaskan secara cermat dan lengkap dari semua gejala psikologis yang
berhubungan dengan karya seni.[8]
Untuk menelaah nilai
estetis kerincing, yang lebih relevan adalah berdasarkan pengalaman estetis
para pelaku kesenian Topeng Ireng tersebut, di mana para pelaku – subyek –
telah memiliki pengalaman estetik dari benda seni tersebut dalam proses
berkeseniannya yang telah dilakukan selama ini.
“…,
teori subjektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada
suatu benda tidak ada. Yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri
seseorang yang mengamati suatu benda. Adanya keindahan semata-mata tergantung
pada pencerapan dari si pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda
mempunyai nilai estetis, hal ini berarti bahwa seseorang pengamat memperoleh
suatu pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.”[9]
“Apa yang indah dari kerincing, mengapa
benda ini memiliki keindahan, dan kenapa bisa indah?” pertanyaan ini adalah
rumusan dari permasalahan penulis terhadap persoalan estetis kerincing, di mana
keindahan tersebut masih bersifat abstrak tanpa ada penjelasan yang mendetail
mengenai persoalalan keindahan tersebut. Di luar latar belakang kebudayaan yang
berbeda, tentunya orang masih belum bisa merasakan keindahan dari benda
tersebut. ”Nilai budaya daerah tentu saja bersifat
partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah budaya suku
bangsa tertentu.”[10]
Keindahan pada dasarnya
adalah sejumlah kualita pokok yang sering disebut; kesatuan (unity),
keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), dan
perlawanan (contrast).[11]Adanya
ungkapan rasa keindahan dan pengaruh psikologis yang dialami para pelaku
kesenian, hal ini merupakan tanggapan keindahan terhadap benda seni tersebut
yang tentunya karena adanya pengalaman estetik[12]
yang telah mereka peroleh.
Berikut ini adalah
hasil wawancara dengan penari Topeng Ireng kelompok ‘Elang Kawedar’ dari Dk.
Selo Tengah, Ds. Selo, Kec. Selo, Kab. Boyolali, yang menurutnya:
“Perbedaan antara menggunakan kerincing dan tidak,
sangat berbeda sekali. Kalau gak memakai tampangnya wagu, terus kalau gak
memakai keroncong kan gak rame, terus biasanya kalau menari memakai keroncong
terus gak memakai tu perbedaannya sangat terasa sekali di kaki, terus suara
yang rame itu menambah greget di hati pemain. Selain itu, juga dapat mengkondisikan
emosi pemain untuk tetap menari dan bermusik dengan serius, memberi gebrakan
kepada penonton dengan bunyi-bunyian yang rame, serta memberi kepuasan dan
kesemangatan tersendiri bagi para pemain”[13]
Dari hasil wawancara
tersebut merupakan tanggapan mengenai keindahan dari kerincing oleh pelaku
kesenian. “Bangsa Yunani juga mengenal kata keindahan dalam arti estetis yang
disebutnya “symmetria” untuk keindahan
visual, dan harmonia untuk keindahan
berdasarkan pendengaran (auditif).”[14] Berdasarkan
pengalaman estetis pelaku seni Topeng Ireng, keindahan visual dan keindahan
berdasarkan pendengaran tersebut juga merupakan hasil keindahan dari kerincing tersebut.
Dari semua uraian dan
penjelasan yang dilakukan dalam pembahasan ini merupakan wujud usaha penulis
untuk menjelaskan dan menguraikan nilai-nilai estetis kerincing dalam tari
Topeng ireng secara lengkap dan cermat mengenai maksud-maksud dan tanggapan
para pelaku kesenian – subyek – mengenai keindahan kerincing yang masih
bersifat abstrak, di mana para pelaku kesenian bisa merasakan dan memberi
tanggapan rame, indah, tampange wagu,
meriah, semangat, serius, dan puas tetapi mereka tidak mampu menjelaskan ataupun
menguraikan mengenai apa yang telah mereka ucapkan dan rasakan.
Melalui proses analisa
data secara korelasional, komparasi, dan kausal dari data yang dikumpulkan;
secara induktif dari data di lapangan – dari subyek, serta studi pustaka dan
teori estetika, nilai estetis kerincing dalam tari Topeng Ireng dapat diuraikan
dan dijelaskan secara lengkap.
Keindahan
Visual - Symmetria
Secara khusus dalam
pendahuluan tulisan ini telah dijelaskan bahwa; berdasarkan bentuk fisik –
artistik – pada kerincing, tanpa ada aturan yang baku, dalam faktanya telah
terdapat standarisasi yang dianut para pelaku kesenian yaitu kerincing yang
dipakai memenuhi dari pergelangan kaki hingga lutut penari. Kerincing ini
dirangkai dari 70 sampai ratusan biji kerincing dengan menggunakan alas spon.
Standarisasi ini tentunya terjadi karena adanya kualita keindahan dari
kerincing tersebut berdasarkan pengalaman estetis para pelaku kesenian
tersebut.
Jika dalam
pelaksanaannya tidak sesuai dengan standarisasi yangt telah dianut, maka para
pemain akan memberi tanggapan kurang indah karena hal tersebut tidak memenuhi
kualita keindahan. Pemakaian kerincing yang tidak memenuhi standarisasi sudah
menimbulkan tanggapan kurang indah, selanjutnya pengaruh yang lain dalam
kompleksitas kostum dan properti yang
dipakai penari, tanpa adanya pemakaian kerincing semakin kurang memenuhi
kualita keindahan. Sebagai contoh adalah pada gambar berikut:
Pada
gambar 3. Merupakan gambar penari yang memakai kostum dan property lengkap yang
tampak dari samping. Konstruksi komposisi artistik yang demikian merupakan
susunan desain yang telah disepakati dan dianut dalam kesenian tersebut yang
tentunya karena dapat memberikan hasil yang dapat dinikmati dan memuaskan
karena terdapatnya kualita keindahan. Berbeda dengan gambar 4. di atas, dalam
gambar ini penari tidak menggunakan
kerincing pada kaki sebelah kiri, maka persoalan tersebut melanggar dari apa
yang telah disepakati dan dianut dalam kesenian ini serta tidak sesuai dengan
struktur komposisi atau susunan desain artistik penari yang berlaku dalam
kesenian ini, sehingga pada gambar ini tidak menenuhi kualita keindahan, dari
tanggapan wawancara sebelumnya menyebutkan ‘tampange
wagu’ – tidak indah.
Keindahan
Berdasarkan Pendengaran - Harmonia
Sebelum
pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini, perlu dijelaskan bahwa struktur
sajian dari tarian ini masih sederhana, baik dari segi gerak tarian maupun segi
musikal. Pola-pola gerak maupun pola lantai dari tarian ini masih terkesan
sederhana, seta tempo dan dinamika tarian yang masih datar. Begitu juga dalam
segi musik, biasanya menggunakan instrument iringan pokok tiga buah bende, truntung, dan bedug. Teknik permainannya pun masih
cukup sederhana, pada intrument bende dimainkan dari susunan nada dan rangkaian
motif 2 1 2 6[17] yang dibunyikan secara repetitif, adapun
motif repetisi yang lain sebagai pola peralihan dan pola gerak yang lain.
Teknik pemainan truntung adalah pinatut,
yaitu bermain dengan menyesuaikan gerakan dan musik. Bedug dimainkan digunakan
sebagai seleh pada tiap delapan ketukan terakhir untuk memberi tekanan suara
rendah.[18]
Dalam
hasil wawancara sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa kerincing akan menambah greget di hati pemain, mampu
mengendalikan emosional penari dan pemusik untuk perform dengan keseriusan, semangat dan kepuasan tersendiri bagi
pemain, serta bertujuan untuk memberi gebrakan
kepada penonton dengan bunyi-bunyian yang rame. Semua persoalan tersebut
merupakan pengaruh psikologi dari suara – audio
– yang dihasilkan dari kerincing.
Hal
di atas merupakan tanggapan estetik pelaku kesenian dalam memahami keindahan
efek bunyi kerincing. Pemahaman estetik dalam seni – bentuk pelaksanaannya
merupakan apresiasi. Apresiasi seni merupakan proses sadar yang dilakukan
penghayat dalam menghadapi dan memahai karya seni. Seorang pengamat yang
memahami karya sajian maka sebenarnya ia telah mengenal struktur organisasi
atau dasar-dasar susunan karya yang sedang dihayati.[19]
Suasana
rame dan meriah ini bisa dijelaskan bahwa pada kerincing yang dipakai penari
memiliki frekuensi bunyi yang berbeda-beda, perbedaan frekuensi ini dibunyikan
secara bersama-sama, serta waktu getaran bunyi yang berbeda-beda, hal ini
merupakan keanekaan dan keberagaman frekuensi bunyi yang dibunyikan secara
bersama-sama. Dalam hal ini juga bisa dianalogikan ketika orang membanting
piring kaca hingga pecah; ketika piring terjatuh hingga pecah, bunyinya
terkesan beragam dan sulit didefinisikan ukuran nadanya yang tepat, dalam
kejadian ini terjadi karena pecahan piring yang telah terpisah tersebut
memiliki frekuensi bunyi yang berbeda-beda. Yang perlu dipahami dari penjelasan
tersebut adalah analogi penulis, di mana antara kerincing dan piring memiliki
karakteristik bunyi yang berbeda.
Dalam
penyajian tarian ini, walaupun para pelaku kesenian menganggap kerincing bukan
alat musik, suara kerincing ini secara kompleks menjadi bagian dari struktur
sajian musik pengiring tari. Sesuai dengan gerakan kaki penari yang tentunya
sesuai dengan iringan musik, bunyi kerincing ini membentuk pola-pola ritme di
mana ritme yang dihasilkan ini menjadi unsur bagian dari musik. Jadi, kerincing
juga mengandung ‘nilai musikal’[20].
Berdasarkan gerakan tari dan iringan musik
yang terkesan masih sederhana, berdasarkan suara kerincing yang dianggap rame
dan meriah, serta adanya pembentukan pola ritme. Hal ini terjadi kesatuan,
keselarasan, kesetangkupan, keseimbangan, dan perlawanan hingga mencapai
keindahan. Keindahan di sini tentunya karena adanya perasaan senang, nyaman,
dan puas yang dirasakan pelaku kesenian. Ungkapan perasaan tersebut menjadi
pengalaman estetis pelaku kesenian sehingga dianggap menjadi indah.
Hal
di atas sesuai dengan pernyataan Steppen C. Pepper yang menyebutkan:
“kemonotonan
(kesenadaaan yang berlebihan) dan kekacau balauann (confusion). Untuk mengatasi kedua faktor yang mencegah atau merusak
dari pengalaman estetik itu, penyusunan karya seni harus diusahakan adanya
keanekaan (variety) dan
keseimbangan”.[21]
Dalam hal ini kerincing berperan memberi
keanekaan dan keseimbangan dalam struktur sajian tari Topeng Ireng, baik dari
segi musikal maupun tarian.
Kerincing
juga bisa mengkondisikan penari dan pemusik agar tetap bermain dengan serius.
Dalam hal ini kerincing berfungsi menjadi bunyi pengingat. Ketika penari dan
pemusik sudah merasa kelelahan ketika pementasan, dengan terdengarnya bunyi
kerincing ini mampu menggugah semangat para penari dan pemusik untuk tetap
bermain dengan serius. Lebih khususnya lagi pada penari, secara inter personal
ketika mendengar kerincing dari penari disekitarnya – terjadi saling
berpengaruh antar penari, penari menjadi terpengaruhi sehingga hentakan kaki
penari semakin diperjelas untuk memperjelas bunyi kerincing pada kakinya yang secara
otomatis gerakan kaki akan mempengaruhi liutan gerak tubuh lainnya menjadi
lebih semangat. Secara intra personal, penari sadar bahwa dia menggunakan
kerincing sehingga ketika kerincing yang dipakai tidak berbunyi secara keras,
penari akan merasa tidak puas dan kurang menikmati ekspresinya. Sehingga, penari tergugah emosinya untuk tetap berekspresi
menari secara serius dan semangat serta dapat menikmati ekpresinya. Dengan
demikian, karena pengaruh bunyi kerincing, para penari dan pemusik dapat
menikmati kesenian yang mereka sajikan, serta menjadi bagian dari ekspresi
mereka. Selain itu, juga diharapkan agar sajian tari Topeng Ireng ini juga
dapat dinikmati oleh penonton yang menyaksikannya.
“…, penikmatan
merupakan proses dimensi psikologis, proses interaksi antara aspek intrinsik
seorang terhadap sebuah karya estetik. Hasil dari interaksi proses tersebut
merupakan ultimatum senang arau tidak senang terhadap keberlangsungan terhadap
karya seni.”[22]
Berdasarkan penjelasan
yang telah dijelaskan di atas, baik dari keindahan visual maupun keindahan
berdasarkan pendengaran, kerincing juga mengandung ‘nilai ekspresi’ di mana
“’muatan’ atau ‘isi’ ini dapat disebutkan berdasarkan rasa inderawi dan emosi
yang dibedakan menurut rasa yang meyenangkan, rasa lucu (komik, humor) dan
renungan”.[23]
Kesimpulan
Berdasarkan pengalaman
estetis dari pelaku kesenian, terdapat dua aspek keindahan dalam kerincing,
yaitu keindahan visual dan keindahan berdasarkan pendengaran. Dalam keindahan
visual – symmetria, dengan adanya
standarisasi pemakaian kerincing serta kesatuan dan keselarasan properti kerincing
dalam susunan komposisi kostum penari. Dalam keindahan berdasarkan pendengaran
– harmonia, terjadi karena karakteristik bunyi kerincing,
waktu dan getaran bunyi, dan perpaduan bunyi dari berbagai frekuensi bunyi yang
berbeda-beda dalam kerincing yang secara kompleks dan terstruktur menjadi
berpengaruh dalam pertunjukan. Secara psikologis berdasarkan apa yang telah
dirasakan dan diserap oleh pelaku seni, hal-hal dalam kedua aspek tersebutlah
yang membuat kerincing memiliki keindahan.
Yang lebih penting
adalah keindahan tersebut berdasarkan perasaan dan penyerapan indera yang
secara psikologis dialami manusia sehingga menganggap benda itu indah. Suatu
benda tidak mempunyai panca indera
seperti manusia, di mana yang dapat merasakan dan menganggap indah –
secara psikologis – serta menguraikan dan menjelaskan keindahan tersebut adalah
manusia.
Daftar Pustaka
Kartika,
Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains.
Koenjaraningrat. 1969, Rintangan-Rintangan
Mental Dalam Pembangunan Ekonomi Di Indonesia. Jakarta: Bhatara.
Webtografi
Narasumber
Kenci.
Penari Topeng Ireng ‘Elang Kawedar’ Dk. Selo Tengah, Ds. Selo, Kec. Selo, Kab.
Boyolali.
* Penulis merupakan
mahasiswa Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta angkatan
2009.
[1] http://zuzabaihaqi.blogspot.com/
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4]
Kartika, Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Hal:4.
[5]
Ibid. baca hal:4 dan 5.
[6] “Nilai adalah ukuran derajat
tinggi-rendah atau kadar yang dapat diperhatikan, diteliti atau dihayati dalam
berbagai objek yang bersifat fisik (konkrit) maupun abstrak” (Kartika,
Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Hal:20.)
[7]
Kartika, Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Hal:15.
[8]
Liang Gie dalam Kartika, Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa
Sains. Hal:83.
[9]
Kartika, Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Hal:15-16.
[10]
Koenjaraningrat.
1969, Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi Di
Indonesia. Jakarta: Bhatara. Hal.18.
[11]
Kartika, Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Hal:3.
[12] “pengalaman estetik adalah
pengalaman yang dirasakan oleh penikmat terhadap karya estetik (=dalam arti
keindahan).” (Kartika, Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa
Sains. Hal:37.)
[13]
Wawancara dengan Kenci – penari, pada
hari minggu, 13 November 2011, Jam 19.30 WIB. Terjemahan dari bahasa Jawa ke
bahasa Indonesia.
[14]
Kartika, Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Hal:9.
[15]
Didokumentasi oleh penulis pada tanggal 13 November 2011, kelompok tari Topeng
Ireng ‘Karya Manunggal’ Dk. Selo Tengah, Ds. Selo, Kab. Boyolali dalam acara
tasyakuran warga di Dk. Salam, Ds. Samiran, Kec. Selo, Kab. Boyolali.
[16] Ibid.
[17]
Tiga buah bende bernada 6, 1, dan 2 yang berlaras slendro.
[18]
Dalam perkembangannya saat ini, beberapa kesenian Topeng Ireng memberi tambahan
instrument sebagai unsur melodi contohnya; suling, organ, angklung, dan
beberapa instrument melodi lainnya. Akan tetapi instrument-instrument yang
telah ada dan baku tetap bermain sesuai
teknik dan ritme yang telah ada
sebelumnya.
[19]
Kartika, Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Hal:82.
[20]
Nilai musikal ialah suatu kualita ‘musik’ murni yang tersamar dan sukar
ditangkap oleh penghayatan karya seni. Nilai musikal ini memuaskan seniman dan
pencipta seni yang disebabkan oleh rasa senang yang disadari secara spontan.
(Kartika, Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Hal:21)
[21]
Liang Gie dalam Kartika, Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa
Sains. Hal:83-84.
[22]
Kartika, Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Hal:95.
[23]
Kartika, Dharsono Sony dan Prawira, Nanang Ganda. 2004, Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Hal:25.
Langganan:
Postingan (Atom)