“Gelar
300 Jaranan”, Minim Antusias
Oleh
Kiswanto
Sebuah
perhelatan akbar “Gelar 300 Jaran Kepang” disuguhkan gratis selama tiga hari kepada
masyarakat. Pagelaran ini menghadirkan berbagai macam seni jaranan dari
berbagai daerah di Jawa Tengah, sekaligus menjadi bagian dari serangkaian event
“Seni Pertunjukan Tradisional Indonesia” di Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta
dari Sabtu kemarin.
Minggu
(25/11/2012) adalah hari pertama diadakannya gelar jaranan ini. Sejak upacara
pembukaan pukul 09.00 WIB, rombongan-rombongan seni yang juga akrab disebut
Kuda Lumping terlihat mulai berdatangan memadati area Pendhopo Ageng TBS menjadi ‘penuh warna’. Sebelumnya, beberapa
kelompok saling mengantri untuk GR, check panggung, maupun check sound. Sampai pementasan dimulai,
menginjak siang sampai sore hari, dengan semangatnya para penampil sangat
antusias memamerkan karyanya.
Fasilitas
yang diberikan pihak penyelenggara pun juga cukup lengkap. Selama berada di
lokasi, per kelompok disediakan dua kali makan & minum, Wisma Seni sebagai
tempat penginapan dan peristirahatan, tempat rias yang layak, serta anggaran
dana yang telah disepakati. Selain mendapat fasilitas yang demikian, tentunya
suatu kebanggaan tersendiri bagi kelompok kesenian rakyat yang datang berjauhan
hingga dapat berpartisipasi ke TBS, suatu tempat yang cukup terkenal sebagai
tempat pertunjukan seni.
Tidak
pandang bulu, dari yang berprestasi sampai yang tidak berprestasi sama
sekalipun diikutkan dalam ajang ini. Hal ini menunjukkan begitu perhatiannya
penyelenggara mengapresiasi akan eksistensi kesenian Jaranan di Jawa Tengah.
Pagelaran ini juga mengingatkan pernyataan Bibit Waluyo yang menjustifikasi
bahwa kesenian Jaran Kepang itu kesenian daerah yang ‘jelek’, wujud apreasiasi
pihak TBS ini nampaknya juga sebagai wujud respon akan kekayaan dan keberagaman
seni Jaranan di Jawa Tengah terhadap Gubernur Jateng tersebut. Hal ini juga
dapat diamati dari ucapan-ucapan kedua MC yang sering mengemukakan; “mosok seni Jaranan diarani jelek, jelek’e
nendi?”.
Para penyaji saling berunjuk kebolehannya
masing-masing. Adanya interaksi yang terjalin dalam pertunjukan ini tentunya
sangat bermanfaat bagi para penampil, setelah saling mengamati aneka ragam
pertunjukan Jaranan tentunya dapat mengevaluasi kekurangan dan kelebihan
masing-masing. Dampaknya, akan menjadi inspirasi dan motivasi para seniman
Jaranan agar tetap mempertahankan eksistensinya sekaligus mengembangkannya.
Kursi-kursi yang disiapkan panitia penuh
ditempati penonton, hingga sebagian sampai menyaksikan dengan berdiri dan duduk
di atas lantai area pendhopo. Sebagian besar penonton ini tak lain adalah para
penampil yang menunggu giliran pentas, beristirahat, ataupun sekedar
menyaksikan. Antusiasme masyarakat setempat terlebih Solo pada umumnya sangat
kurang, mengingat event ini mendatangkan kesenian dari berbagai daerah yang sekaligus
juga bertaraf Nasional.
Pendhopo
memang agak penuh, namun area luar seputaran pendhopo begitu sepi pengunjung.
Nampaknya “Gelar 300 Jaranan” ini kurang terpublikasi jauh-jauh hari dengan
baik. Event-event bertaraf lokal saja bisa dipadati pengunjung, tapi mengapa
perhelatan akbar ini tidak?, cukup disayangkan tentunya. Selain lemahnya
publikasi, kurangnya antusias masyarakat Solo juga menunjukkan bahwa panitia
gagal mem-branding event yang
diadakannya, bahkan mungkin sama sekali tidak mem-branding-nya.
Budaya jam
karet pun juga terjadi dalam pagelaran ini, jadwal yang direncanakan
menunjukkan jam 08.00 tepat akan dimulai, jam 09.00 lebih baru dimulai.
Padahal, sebelum jam 08.00 sudah banyak kelompok seni yang tiba sekaligus telah
siap pentas. Bisa saja molor-nya
waktu ini terjadi karena sebab-sebab yang tidak dapat dihindari, ataupun
kebiasaan buruk yang telah membudaya, tapi yang jelas hal ini menunjukkan
kurangnya profesionalitas para panitia.
Para
penampil akan pentas sesuai dengan hari dan tanggal yang telah ditentukan
panitia dalam undangan. Sebelumnya undangan resmi terhadap kelompok Jaranan
telah tersebar, koordinasi pra-event antara panitia dengan kelompok Jaranan
juga terjalin. Terlihat di Boyolali, Jatmiko stage manager dari event ini
sering terjun ke lapangan langsung ke beberapa kelompok kesenian.
Atas
kesengajaan atau tidak, satu hari sebelum event diadakan hingga pagi hari event
dibuka, dead-line waktu pementasan (run down) per-penampil belum diinformasikan
dengan jelas, para penampil ‘kebingungan’ kapan waktu pentasnya? serta mendapat
giliran yang ke berapa?. Menurut informasi yang didapat dari salah seorang
ketua kesenian Jaranan “Turonggo Seto” dari Boyolali (Suharmin) minggu pagi,
menuturkan bahwa jadwal pentas akan diberitahukan panitia setelah acara
pembukaan, sekaligus berdasarkan pertimbangan kesenian yang telah hadir dan
siap. Ternyata benar, jadwal bergilir masing-masing Jaranan baru diberitahukan
setelah “Gelar 300 Jaranan” dibuka. Hal
ini tentunya kurang efisien bagi para penampil yang datang, akibatnya akan
terlalu lama menunggu serta memperpanjang waktu berada di lokasi event.